Sunday, August 21, 2011

Sufi Dalam Pandangan Kita

Satu sisi yang paling menonjol dari persepsi kita tentang sosok sufi adalah pada segi penampilannya yang "nyleneh". Istilah dalam tanda kutip ini sering kita artikan aneh atau tidak wajar. Bukan gila maksudnya, tetapi kata tersebut lebih dekat pengertiannya dengan lain dengan manusia yang lain. Atau kalau terpaksa diartikan dengan gila, maka yang dimaksud adalah gila Tuhan (tergila-gila kepada Tuhan!).

Dalam persepsi kita, keanehan, ketidak wajaran, kelainan dan ketidak samaan sufi dengan manusia biasa meliputi pada segala aspek kehidupannya; tingkah laku, penampilan, gaya hidup, perkataan dan kemampuan. Untuk kelainan yang terakir ini yang dimaksud adalah kemampua supranatural yang mereka miliki. Misalnya bisa memprediksi sesuatu yang akan terjadi, bisa terbang atau kemampuan-kemampuan ghaib yang lain. Aspek-aspek inilah yang menjadikan sosok sufi dimata kita sebagai figur yang sangat eksklusif.

 Sebagai sosok yang sangat eksklusif, kita seringkali menempatkan posisi sufi pada strata kedudukan yang begitu tinggi. Kita agungkan mereka, bahkan pada tahap-tahap tertentu kita perlakukan mereka sebagai manusia yang layaknya manusia, tetapi lebih dari itu. Di Jawa misalnya, banyak yang mengnggap bahwa seorang Sufi adalah orang keramat. Kita tidak boleh berlaku sembarangan dengan mereka, baik semasa hidup maupun sampai sepeninggalannya.

Segala apa yang menjadi tindak lakunya yang oleh banyak kalangan dinyatakan sebagai tindakan yang menyimpang baik dari kewajaran bahkan dari agama sekalipun, harus ditafsirkan sebagai bentuk karomah dari Tuhan. Dengan demikian, tidak ada yang menyimpang dari tindakan seorang sufi. Da juga tidak ada salah pada keanehan-keanehan yang mereka perbuat. Semua yang dianggap aneh atau menyimpang adalah sebentuk ketidak tahuan manusia-manusia awam, terhadap hakikat perbuatan para sufi. Bagi orang awam, akal mereka sangat terbatas sehingga sulit menafsirkan tindakan sufi. Mata merekan masih tertutup tabir hingga tidak sanggup untuk melihat dengan tajam, dan hati mereka masih terlalu kotor untuk menangkap  hakikat dari laku para kekasih Tuhan itu.

Adalah satu kenyataan bahwa persepsi kita tentang sufi masih sebatas seputar keanehan-keanehan yang terjadi dalam dunia kesufian itu. Lebih ironisnya lagi, karena keanehan-keanehan yang terjadi dalam diri sufi itu tidak kita tengarai sebagai penyimpangan, tetapi malah sebaliknya, kita sikapi sebagai kelebiha yang kita tidak mampu memahaminya, maka sikap yag ada dalam diri kita terhadap seorang sufi kadang sangat berlebihan an melewati batas-batas sifat yang wajar. Ketidak wajaran dari sikap kita yang begitu melebih-lebihakan terhadap seorang sufi inilah yang memunculkan tudingan bahwa sikap kita tersebut sebagai pengkhultusan terhadap sesamamakluk.

Tudingan ini pun ternyata tidak hanya datag dari luar Islam, tetapi secara internal, sebagian golongan Islampun ada yang mengkritik habis-habisan terhadap sikap tersebut. Ibnu Taymiyah misalnya, diawal-wal perjuanganya untuk menegakkan sunah yag benar-benar sesuai dengan tradisi sunah Rasul, menuding bahwa banyak praktek ajaran tasawuf yang menyimpang dari ajaran Islam,  dan banyak juga tradisi-tradisi dikalangan awam yang memperlakukan kalangan kaum sufi dengan sikap dan tradisi yang tergolong bid'ah dan kurafat.
Kritik yang sama ternyata kita dapatkan juga di Indonesia, yang dalam hal ini datang dari golongan yang mengaku diri sebagai reformis Islam, yaitu sebuah golongan yang menuding bahwa praktek-praktek bid'ah dan kurafat seperti yang dituduhkan oleh Ibnu Taymiyyah banyak dijumpai didalam praktek keberadaan orang-orang Indonesia.

Terlepas dari tudingan-tudingan tersebut, yang jelas keanehan-keanehan yang ada di dunia sufi ternyata melahirkan keanehan juga pada panangan dan sikap kita terhadap mereka.

Diakui atapun tidak masih banyak kalangan awam yang salah dalam memandang eksistensi sufi. Banyak yang menyatakan sufi adalah manusia-manusia suci yang terlepas dari perbuatan dosa dan salah. Sufi adalah manusia-manusia yang sanggup mengarahkan perilakunya  untuk manjauh dari perbuatan salah dan dosa, Allah pun menjaga mereka dari perbuatan itu. Sehingga dengan demikian,  jika menemukan kejanggalan-kejanggalan  yang terkadang kita temukan pada perbuatan sufi adalah suatu kewajaran, sebab maqam atau tingkatan keimanan dan kedekatan mereka dengan Tuhan jauh lebih tinggi dari pada maqam kita. Perbedan maqam inilah yang menjadikan kita tidak mengerti perbutan mereka dan tidak mampu untuk tahu hakikat tingkah lakunya.

Ada banyak cerita yang mendukung pandangan seperti itu. Berikut salah satu kishnya :
Konon ada seorang yang dianggap sufi yang mempunyai keanehan atau ketidak wajaran yaitu sering pergi ketempat-tempat maksiat seperti lokalisasi, bar dan tempat perjudian, dan melakukan hal yang sama seperti orang kebanyakan yang pergi ketempat tersebut. Ditempat pelacuran sang sufi tidak ikut melaakukan perzinaan tetapi di bar sang sufi terlihat ikut meminum minuman keras dan ditempat perjudia juga ikut berjudi dengan banyak orang. Keanehan lain adalah sang Sufi ini tidak pernah terlihat ikut sholat. Karena menganggap orang tersebut adalah seorang sufi maka banyak penafsiran dan cerita-cerita aneh yang muncul menyikapi perilaku sang sufi. Sebagian mengatakan bahwa sang sufi memang memilih tempat-tempat tersebut sebagai media dakwahnya. Sengaja ia memilih tempat-tempat maksiat bukan tempat-tempat suci. Hal tersebut dilakukan karena untuk menyadarkan ahli maksiat harus ditolong dari tempat kemaksitan bukan dari tempat-tempat suci. Dan ternyata terbukati. Konon, setia orang-orng kenal dan dikati oleh sang sufi  dalam beberapa hari langsung tersadar. Sudah banyak orang yang insaf setelah kenal dan dekat dengan sang sufi.

Versi penafsiran lain menyatakan, biarpun sang sufi tersebut bergumul dengan dunia kemaksiatan, ikut ngedrink atau ikut judi, itu tampak hanya sisi lahirnya saja tetapi pada hakikatnya tidak. Dengan kata lain secara kasat mata Sufi tersebut mamang minum khamar dan berjudi. Tetapi dibalik itu semua, secara hakiki sang sufi tidak melakukannya. Pernah menurut cerita pernah sang sufi kencing didalam Masjid dan banyak orang yang mengetahuinya, tetapi anehnya setelah dilihat-lihat tidak ada bekas-bekas air kencing sedikitpun. Ini membuktikan bhwa perbuatan seorang sufi tersebut bukan terletak pada sisi lairnya tetapi aspek hakekatnya.

Sehubungan dengan hakikat perbuatan sang sufi itu biarpun banyak orang melihat ia tidak melakukan shalat, kita tidak akan percaya bawa sang sufi tersebut ditempat lain dan dalam yang bersamaan dimana ia ditempat kemaksiatan, sang sufi terlihat tengah melakukan shalat dengan khusyu'nya. Ada satu dua orang yang melihat keanehan ini.

Ada banyak cerita senada yang kita terima begitu saja tanpa adanya sikap kritis. Padahal kalau dikaji lebih dalam cerita-cerita tersebut tingkat kebenarananya masih perlu dipertanyakan. Kebanyakan cerita itu tersebar dari mulut kemulut yang tak jelas sumbernya. Payaknya lagi ada saja  oknum-oknum yang dengan sengaja menambah-nambahkan dan member-besarkan cerita tentang sufi dengan cerita yang palsu.

Secara sadar atau tidak, bahwa persepsi kita tentag sufi seperti diatas telah menempatkan sufi pada tingkatan setaraf dengan Nabi sehingga tidak ada ruang bagi kita untuk mengkoreksi atau mengkritik mereka. Kritik kepada mereka bagi kita adalah sesuatu hal yang tabu. Bukankah Sufi adalah orang keramat, yang jika kita berbuat macam-macam yang itu bisa menjadikanya mereka murka, maka akan timbul malapetaka pada diri kita?

Ada semacam rasa kekhawatiran yang pada gilirannya akan menjadi rasa ketaktan jika kita mencoa untuk mengkritik dan menyalahkan sebagian tingkah laku yang sufi yang secara nyata menyimpang. Kita takut kualat jika kita berani menyatakan bahwa tindakan aneh dari seorang sufi adalah salah. Padahal kaau kita mau memahami, Islam sendiri telah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi ini kecuali Nabi. Selain dia, tidak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa.