Friday, August 31, 2012

Apa Arti Sufi yang sesungguhnya


Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa kita harus tau betul arti dan makna istilah Sufi. Pertama, karena pengkaburan makna antara Sufi dengan sebutan orang-orang aneh yang lazin disebut dukun, seperti yang diterangkan pada postingan sebelumnya (Sufi Dalam Pandaga Kita).

Kedua, sebab adanya praktek-praktek menyimpang dari praktisi sufi dalam memahami sekaligus mengamalkan ajaran tasawuf.

Alasan pertama bertujuan supaya kita tidak dengan mudah menyebut seseorang dengan Sufi lantaran keganjilan-keganjilan yang dimilikinya serta atribut-atribut kesaktian yang melekat padanya. Hal ini supaya kita tahu bahwa seorang Sufi tidak harus mempunyai keganjilan pada sifatnya dan kesaktian yang bisa dibuktikan. Adapun alasan kedua dimaksudkan supaya kita mengetahui bahwa kenyataan dan praktek-praktek Sufi itu menyimpang dari ajaran dan syariat Islam secara umum dan keluar dari garis-garis ajaran tasawuf secara khusus. Hal ini supaya kita tahu sekaligus bisa membedakan mana yang tergolong sufi sejati dan mana kategori Sufi sebatas pengakuan. Dengan kata lain supaya kita bisa memilih dan memilih mana sufi beneran dan mana Sufi yang gadungan.

Untuk mengatahui semua itu kita harus melakukan pelacakan secara ilmiah kata-kata “Sufi” baik melalui kajian etimologi (mencari pengertian dengan melihat akar atau asal muasal kata) maupun secara definitif (memberikan batasan-batasan pengertian).

Istilah Sufi sebenarnya tidak dikenal pada zaman Nabi. Didalam Al-Qur'an maupun hadis sendiri kata-kata tersebut secara harfiah tidak ditemukan. Kebanyakan ahli menyatakan bahwa kata-kata tersebut secara lahiriah menunjukan sebutan gelar, sebab dalam perbendaharaan bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. Tetapi biarpun demikian ada banyak pendapat dari para ahli untuk mencoba mengalir akar atau sumber asli dari kata tersebut dengan harapan supaya diketahui dengan jelas pengertian yang sesungguhnya. Dari adanya banyak pendapat itu setidaknya kata-kata “sufi” memiliki bebrapa penyandaran.

Pertama, kata Sufi berasal dari pembendaraan bahasa Yunani, yaitu diambil dari kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Kata tersebut juga dtengarai sebaga asal kata filsafat. Pendapat ini sebenarnya datang dari pada orientalis. Mereka mengatakan “ketika orang-orang berfilsafat dalam hal ibadah, mereka mengubahnya menjadi kalimat Sufi, yang kemudian menjadi sebutan bagi kaum yang suka beribadah dan untuk filsafat keagamaan”. Jelasnya, sufi adalah sebuah kata yang dinisbatkan dengan filsafat ibadah.

Dengan pendapat ini, Thaha A. Baqi Surur menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak berdasar dan dapat mengacaukan pengertian dari kata Sufi atau kata tasawuf. Ini tidak bisa diterima dari kaca mata ilmiah. Sebab sejak semula para kau oriantalis memang ingin merongrong Islam dengan berbagai cara liciknya. Dengan menerima pendapat tersebut, itu berarti kita setuju bahwa ajaran tasawuf dengan praktek-praktek kesufiannya adalah jiplakan dari tradisi masyarakat Yahudi.

Kedua, Sufi berasal dari kata Shaff , yang berarti barisan. Hal ini dimaksudkan bahwa para Sufi berada pada barisan pertama dihadapan Allah lantaran ketinggian iman dan takwanya.

Ketiga, kata Sufi berasal dari kata Sufah. Kata ini merupakan julukan terhadap seorang laki-laki dijaman jahiliyah yang mengabiskan waktu untuk beribadah di sekeliling Ka'bah. Nama asli orang tersebut adalah Ghouts bin Mur. Adapun alasan kata Sufi disandarkan pada kata julukan tersebut adalah karena sisi karakteristik dari kehidupannya sama, yaitu sama-sama menghabiska waktu untuk ibadah.

Dalam hal ini Ibnu Jauzi mengatakan, Muhammad bin Nashir menceritakan padaku dari Ibrahim Abi Ishaq. Dia berkata: Abu Muhammad Abdul Ghani berkata, Aku bertanya kepada Walid bin Qasim, “dari mana sebutan Sufi bersandar?”. Dia menjawab: Pada jaman Jahililah ada suatu kaum bernama “sufah”, mereka selalu beribadah menyembah Allah disekeliling Ka'bah. Maka barang siapa yang menyerupai mereka, dia adalah “sufah”

Seandainya pendapat ini bisa diterima, setidaknya masih ada rasa keberatan terutama dari kalangan ahli ibadah sendiri, yaitu tidak patut jika sebutan Sufi yang begitu mulia disandarkan pada praktek peribadahan atas dasar Jahiliah yang non Islam.

Keempat, kata Sufi berasal dari kata Shuffah yang kemudian dinisbat dengan sebutan Ahlus Shuffah, yaitu sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tinggal dalam seuah sisi ruangan Masjid Rasulullah. Mereka yang tinggal diruang tersebut dikenal sebagai kaum yang begitu tekun beribadah.

Dari keterangan lain disebutkan bahwa kata As Shuffah berarti bantalan pengempuk untuk dudukan di punggung kuda. Dengan demikian, ahlus Shuffah adalah pemilik pelana atau kaum, dalam hal ini sahabat Nabi dari kalangan orang miskin yang tidur mereka hanya berbantalkan pelana itu. Tidak ada yang mereka kerjakan dalam kesehariannya kecuali beribadah, belajar Al-Qur'an, puasa, shalat malam dan keluar untuk perang. Mereka adalah orang-orang miskin yang tidak memiliki modal untuk berdagang dan tidak memiliki keahlian dalam dunia bisnis dan perdagangan.

Merekapun tidak memiliki lahan untuk pertanian dan keahlian dalam usaha tani. Rasulullah membangun serambi disamping masjid Nabawi untuk menampung mereka. Sungguhpun demikian merena menjaga kesucian hati dan ketulusan jiwa serta senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Orang-orang ini tidak pernah meminta dan mengharap bantuan orang lain, sehingga orang-orang awam mengira mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. Kebutuhan hidup mereka sehari-hari berasal dari ghanimah (hasil pembagian rampasan perang) karena keterlibatan mereka dalam perang dan dari jatah yang dipegang Rasul.

Pendapat lain banyak di uraikan oleh para ahli pada sisi lain kalau kita tidak hati-hati dan tidak paham betul akan menimbulkan dampak negatif dari pengetian Sufi itu sendiri. Diakui atau tidak bahwa deng pendapat tersebut akan timbut suatu immage bahwa gerakan Sufi, dari awal kemunculanya sudah menunjukan wajah kemiskinan dan keterbelakangan. Kemiskinan dan keterbelakang yang dijalani oleh para Sufi adalah merupakan kemiskinan kondisional dmana mereka benar-benar miskin; tidak punya lapangan pekerjaan dan tidak punya skill untuk dijadikan sebagai alat untuk bekerja.

Ada suatu kesan tersendiri yang akan muncul dari keterengan tersebut, bahwa Sufisme idetik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Lebih jauh lagi akan muncul sebuah pemahaman bahwa jalan sufi harus dilalui dengan cara miskin. Para Sufi harus dengan rela hati untuk menjadi orang miskin.

Adalah suatu indikasi bahwa pemahaman tentang Sufi sebagai bentuk kepasrahan utuh akan takdir Allah tanpa disertai adanya ikhtiar adalah suatu pengaruh dari pengertian Sufi yang disandarkan pada Ahlus Shuffah ini. Adanya praktek-praktek Sufi yng mementingkan sisi dhahir dari penampilan fisiknya atau adanya praktik-praktik sufi yang dengan begitu saja menginggalkan segala tanggung jawab dunia,memandang persoalan dunia tidak hanya sebelah mata tetai malah dengan mata yang tertutup adalah merupaka ciri dari pemahaman pengetian Sufi sbagaimana diatas.

Kelima, kata Sufi serasal dari kata Shuf yang berarti bulu domba. Dalam perbendaharaan kata bahasa Arab akan kita temukan suatu kalimat yang biasa diperuntukan kepada orang-orang yang memakai pakain wol atau bulu domba dengan sebutan , tashawwafa al rijal.

Pengambilan kata pada pengertian yang kelima ini, kata sufi dinisbatkan kepad suatu ciri khas pakaian, yaitu pakaian tebal (wol) yang terbuat dari bulu domba. Jenis pakaian ini kasar dan tebal yang biasa di identikan dengan pakaian orang-orang zuhud. Sebagai kebalikan pakaian ini adalah pakaian yang terbuat dari bahan sutra yang biasanya dipakai oleh para pembesar kerajaan.