Tuesday, September 11, 2012

Mendaki maqam-maqam Sufi Bagai Menaiki Anak Tangga


Inti dari pensucian hari dari sifat-sifat tercela dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji adalah dimaksudkan agar seseorang terlepas dari ikatan-ikatan dunia hingga yang ada dalam hatinya hanya Allah semata. Langkah ini sebenarnya tidak bisa dilakukan dengan sekejap mata, tetapi membutuhkan latihan-latihan hati secara serius dan bertahap, yakni dengan upaya mencapai tahap-tahap kerohanian dari satu maqam ke maqam berikutnya.

Maqam dalam dunia sufi diartikan dengan taraf-taraf atau suasana batin yang berkaitan dengan pembinaan akhlak. Maqam juga sering diartikan sebagai pangkat atau derajat seseorang di jalan Allah. Menurut Imam Al-ghazali, maqam adalah merupakan suatu persyaratan yang harus dilalui di jalan dunia sufi, dan jika seseorang bertahan dalam salah satu maqam maka keadaan tersebut dinamakan hal (jamak nya Ahwal) atau tingkatan jiwa.

Dari pengertian di atas, maqam bisa di ibaratkan dengan sebuah tangga yang memiliki gigi bertingkat. Tangga dilalui secara bertahap, step by step, dan anak tangga yang paling bawah atau dasar menuju tangga berikutnya sampai pada anak tangga teratas. Begitulah perumpamaan maqam ke tahap maqam berikutnya. Maqam tidak bisa dilalui dengan meloncat langsung pada salah satu maqam dan meninggalkan maqam lain. Hal ini disebabkan karena suasana jiwa manusia itu mempunyai tingkat gradasi atau kemampuan yang bertahap untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dari perspektif ini maka maqam adalah suatu teori yang telah dibangun oleh ulama sufi untuk menghantarkan manusia kepada Tuhannya yang disandarkan pada kemampuan hatinya yang bertahap tersebut.

Ada banyak macam maqam yang telah ditetapkan oleh ulama sufi. Namun dari banyaknya maqam yang ditetapkan tersebut kami mengambil satu rumusan yang telah ditetapkan oleh Al-Ghazali yang sering disebut dengan maqam 7
Maqam yang pertama adalah maqam Tobat. Tobat secara terminologi berarti kembali, searti dengan kata raja'a. Sedangkan menurut istilah, tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Sedangkan menurut Al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak mengulangi nya lagi. Atau, tobat adalah kembali dari maksiat menuju taat. Kembali dari jalan yang jauh menuju pada jalan yang dekat dengan Allah. Dengan demikian orang yang bertobat adalah orang yang berhenti melanggar larangan-larangan Allah dan kembali untuk melakukan perintah-perintah-Nya. Berhenti dari berbuat maksiat lalu berusaha untuk senantiasa mencintai Allah. Berhenti melakukan hal-hal yang dibenci Allah dan berusaha menjalani apa yang diridhai da disayangi-Nya, dan ia akan merasa sedih hati atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Tobat sebenarnya merupakan satu kesadaran yang muncul dari kedalaman hati yang paling bawah. Kesadaran ini muncul atas pengakuan diri sendiri bahwa perilaku hidup yang selama ini dijalani ternyata tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian, tobat sebenarnya tidak bisa di rekayasa atau merupakan manipulasi perasaan jiwa. Ia benar-benar merupakan kesadaran penuh dan murni, bersih dari intervensi-intervensi pihak lain.

Sebagai kesadaran, tobat pasti akan menumbuhkan rasa penyesalan yang begitu dalam. Rasa inilah yang nanti akan menjadi satu kekuatan yang bisa membangkitkan semangat dan tekad bulat untuk melepaskan noda dan dosa yang pernah dilakukan dan beri'tikad untuk memulai lembaran kehidupan baru, suatu kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tobat dengan pengertian yang demikian ini, tentu tidak bisa disamakan dengan “kapok lombok”, dalam istilah Jawa, yang hanya menimbulkan rasa penyesalan sesaat atau rasa jera sementara yang pada satu kesempatan lain akan mengulangi perbuatan yang sama untuk kesekian kalinya. Tobat sebenarnya bukan hanya se bentuk penyesalan dhahir yang sekadar diperlihatkan dalam sisi ucapan yang walau disertai dengan ucapan istighfar. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah upaya untuk menjauhi dan tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan untuk kedua kalinya, apalagi sampai mengulangi berkali-kali. Inilah sebenarnya karakter dari tobat. Jadi sejauh mana seseorang mengaku tobat kepada Allah itu berhenti dari perbuatan dosa lalu tidak mengulangi nya lagi, maka ia berarti benar-benar bertobat. Tetapi jika seseorang tersebut masih saja mengulangi perbuatan-perbuatannya, maka pengakuan tobat tersebut hanya sekadar terucap tetapi tidak terbukti. Sekali-kali Allah tidak akan menerima pertobatan yang demikian, bahkan Allah akan marah sebab Dia merasa dipermainkan.

Ada 4 hal yang oleh kalangan sufi ditetapkan sebagai syarat tobat, di mana keempat hal inilah yang menentukan sah tidaknya pertobatan manusia. Keempat hal tersebut adalah:
  1. An nadm, yaitu menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Penyesalan ini hanya ada secara ikhlas di dalam hati yang terkadang terefleksi secara otomatis dengan tangisan (yang tidak dibuat-buat). Secara psikologis penyesalan yang tulus seringkali membuat manusia harus menangisi perbuatan-perbuatannya.
  2. Al azm, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi dosa yang pernah dilakukan. Satu i'tikad ini sebenarnya tidak mengenal waktu dan tempat. Artinya, selagi seseorang sudah berniat untuk benar-benar tobat, maka ia sepanjang hidupnya, kapan dan di mana saja tidak boleh mengulangi perbuatan yang sama.
  3. Al iqla, yaitu menanggalkan perbuatan dosa. Bagi orang-orang yang bertobat, semua jenis kemaksiatan yang menyebabkan adanya harus ditinggalkan. Sebab hanya dengan itu dia bisa memulai lembaran kehidupan baru yang berbeda sekali dengan lembaran hidup yang sebelumnya. Jika seorang petobat masih saja tidak mengindahkan larangan-larangan agama, maka itu berarti ia kembali lagi pada kesalahan hidup masa lalunya.
  4. Al bara'ah, yaitu membebaskan diri dari hak-hak anak Adam atau membersihkan diri dari dosa-dosa yang ada hubungannya langsung dengan sesama manusia. Hal ini sangat penting sekali untuk diupayakan sebab bagaimana pun juga dosa manusia terhadap manusia yang lalu sebenarnya bukan wewenang Allah untuk mengampuninya, tetapi hak sepenuhnya untuk mengampuni atau tidak terletak ada manusia itu sendiri.

Dari keempat syarat di atas, tiga dari urutan pertama merupakan upaya penghapusan dosa kepada sang Khalik, sedangkan satu yang lainnya adalah merupakan upaya penghapusan dosa terhadap sesama makhluk.

Monday, September 10, 2012

Sombong Akan Melahirkan Perasaan Meremehkan Orang Lain

Menyambung postingan sebelumnya tentang sombong, lebih spesifik lagi, sombong akan melahirkan perasaan meremehkan orang lain, menganggap orang lain tidak ada apa-apanya yang hingga melahirkan sifat pembangkang atau ketidakpatuhan. Sifat terakhir ini lebih disebabkan karena dalam sombong ada sifat tidak takut kepada siapa saja, karena orang lain dihadapannya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Sombong pada kondisi terakhir ini, pada puncaknya bisa berupa kesombongan seorang manusia kepada Tuhan yang ditandai dengan pembangkangan dan ketidakpatuhan hamba terhadap segala perintah-perintah yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Adapun spesifikasi dari sifat ujub adalah pembangkangan terhadap diri sendiri. Sama dengan keberadaan sifat sombong, ujub juga merupakan sifat meremehkan terhadap kelebihan orang lain bila dibandingkan dengan kelebihannya. Kedua sifat ini adalah tercela, yang oleh Nabi disebut sebagai sifat yang menjadikan manusia tidak bisa menikmati kenikmatan surga. “Tidak akan masuk surga orang-orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong (ujub) walaupun seberat biji sawi”, demikian sabda Nabi yang secara tersirat barangkali dapat ditafsirkan, bahwa tidak akan bisa dekat dengan Allah orang-orang yang di dalam hatinya masih terdapat sifat sombong dan ujub walaupun itu sekecil atom.

Sifat kedelapan selanjutnya, yang merupakan salah satu sifat yang menyebabkan penyakit hati adalah riya'. Riya' adalah sebentuk persekutuan. Makanya sifat ini termasuk dalam kategori syirik asghar (kecil atau samar). Sedangkan kita tahu bahwa syirik merupakan suatu dosa yang teramat sulit untuk diampuni. Syirik termasuk dosa besar dan merupakan laku yang paling dibenci oleh Allah.

Dalam bahasa sehari-hari, riya' berarti pamer atau menunjukkan suatu amal perbuatan baik kepada seseorang. Ada satu tujuan yang ingin dicapai dalam riya' yaitu ingin dipuji orang. Dalam pengertian yang demikian, maka riya' sebenarnya merupakan antagonisme dari sifat ikhlas. Kala ikhlas adalah suatu tindakan yang didasarkan niat hanya karena Allah, maka riya' didasarkan pada selain Allah. Tujuan akhir dari ikhlas adalah mencari ridha-Nya, maka yang menjadi tujuan akhir dari riya' ialah supaya dipuji orang, untuk mendapatkan ketenaran dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi seperti kepercayaan orang lain, rasa simpati dan sebagainya.

Suatu amal perbuatan baik dalam bentuk ibadah yang didasari oleh rasa riya' sesungguhnya tidak memiliki orientasi kepada Allah. Makanya Allah sendiri tidak menerimajenis ibadah seperti itu, sebab Dia “tidak merasa” bahwa amal ibadah tersebut ditujukan kepada-Nya. Dalam bahasa logika mungkin bisa dikatakan bahwa, kalau suatu ibadah atas dasar riya' itu tidak diterima, maka bagi Allah pasti akan menganggap amal ibadah tersebut tidak ada. Seseorang sedang melaksanakan ibadah sholat, misalnya, dengan ada rasa riya' didalamnya, maka di samping Allah tidak akan menerima shalat tersebut, juga Da melihat bahwa amal perbuatan shalat itu tidak ada, atau dengan kata lain dianggap tidak melakukan shalat.

Sebagai ibadah yang tidak berorientasi pada Allah, maka secara psikologis ibadah yang ber-riya' tidak akan berefek kedekatan dengan-Nya. Sebaliknya akan menjadikan kedekatan dengan sesuatu yang menjadi tujuan ibadah itu sendiri. Kalau persoalan dunia yang menjadi orientasi ibadahnya, maka ia akan menjadi dekat dengan dunia. Dan jika ia telah dekat dengan dunia, maka ia tidak akan pernah bisa untuk dekat dengan Tuhan. Ini berarti bahwa semakin banyak ibadah yang dilandasi dengan riya', maa ibadah tersebut tidak akan mendekatkan manusia kepada Tuhan melainkan malah menambah jarak antara keduanya menjadi semakin jauh.

Itulah beberapa sifat yang menjadi penyakit hati. Sifat-sifat inilah yang seringkali menjadikan hati tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan telah membunuh hakikatnya. Tentu, bagi siapa saja yang ingin menapak jalan menuju kedekatan dengan Tuhan harus membuang jauh-jauh sifat-sifat tercela itu. Sebab bagaimanapun juga penyakit-penyakit itulah satu-satunya penghalang bagi manusia untuk sampai pada Tuhan.

Setelah seseorang sudah berupaya untuk membunuh sifat-sifat jelek tersebut, maka langkah selanjutnya ia harus mengganti sifat itu dengan sifat-sifat yang mulia. Artinya setelah sifat-sifat jahat dalam hatinya sudah dihilangkan, maka pada saat itu pula ia harus memasukkan sifat-sifat mahmudah ke dalam hatinya. Langkah ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali esensi hati seperti keadaan yang semula.

Dalam pandangan para sufi, hati manusia sebenarnya mempunyai sifat atau kecenderungan yang asasi, yaitu selalu condong pada kebaikan atau selalu condong pada jalan menuju Allah. Dari pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu makhluk baik; condong pada tindakan-tindakan yang lurus dan senantiasa rindu pada kedekatan kepada Tuhan. Hal ini bisa dikandaskan pada suatu kenyataan bahwa sebelum manusia itu disempurnakan penciptaannya, jiwa-jiwa mereka telah diambil sumpahnya oleh Allah. “Bukankah Aku ini adalah Tuhan kalian semua?”, tanya Allah. Jiwa-jiwa manusia itu pun berkata, “Benar (Engkau adalah Tuhan kami), kami bersaksi akan itu”.

Selain ayat tersebut memberikan satu indikasi bahwa manusia adalah makhluk yang selalu condong pada tindakan-tindakan baik, kalangan sufi lebih menafsirkan ayat di atas sebagai satu bukti bahwa hati sebagai salah satu unsur yang ada dalam diri manusia sejak semula telah mengenal Allah. Hati inilah yang sejak awal telah berjanji akan selalu tunduk dan patuh sebagai seorang hamba kepada Tuhannya, sebab ia secara kodrati dijadikan oleh Allah sebagai satu kekuatan dalam diri manusia untuk itu. Tetapi dalam perjalanannya ada banyak hambatan-hambatan yang bisa menyebabkan hati berbelok arah, bahkan tidak mengenal Allah sama sekali. Hambatan-hambatan tersebut juga ada dalam diri manusia itu sendiri berupa nafsu yang nanti akan melahirkan sifat-sifat jahat.

Kesucian hati sebenarnya bisa dilihat seberapa banyak sifat-sifat jahat tersebut ada dalam diri manusia. Dengan kata lain, semakin bersih sifat-sifat jahat tersebut dari hati, maka hati itu dalam keadaan suci, yang dengan kondisi seperti ini hati bisa bekerja secara optimal sesuai dengan karakter aslinya. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana semakin banyak sifat-sifat jahat tersebut ada dan bersarang di dalam hati, maka hati akan kehilangan karakter aslinya; ia tidak lagi berkecenderungan untuk mengarah pada kebaikan, bahkan ia tidak bisa lagi mengenal Tuhan. Inilah barangkali upaya penyucian hati dari sifat-sifat jahat dan menggantinya dengan sifat mulia menjadi prioritas utama dalam ajaran para sufi. Hal ini dikarenakan hanya dengan membersihkan hati manusia akan bisa mengenali Tuhan, bisa berada dekat dengan-Nya, bahkan supaya bisa bersatu dengan Dia.

Upaya penyucian hati dengan cara menghilangkan sifat-sifat jelek lalu menggantinya dengan sifat baik memamng merupakan usaha yang teramat sulit. Tetapi ini bukan berarti tidak bisa. Bagaimana pun seseorang yang memasuki dunia sufi langkah tersebut harus ditempuh, sebab itulah jalan benar yang bisa mengantarkan seorang hamba berada dekat dengan Tuhannya.

Sunday, September 9, 2012

Asal Usul Danau Toba, Antara Cerita Dongeng Dan Fakta Ilmiah

Sebagai orang Indonesia kita pasti sudah tidak asing lagi dengan danau Toba. Ada dongeng yang cukup terkenal mengenai danau Toba ini, tapi apakah dongeng tersebut benar? Di kesempatan ini kami akan mengupas Asal-usul danau toba dari versi dongeng dan versi ilmiah. Ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang Indonesia tercinta ini.
Dongeng Populer Tentang Asal Usul Danau Toba.
Dikisahkan ada seorang petani yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berkebun dan menangkap ikan. Pada suatu hari sang petani mencari ikan di sungai. Setelah beberapa lama ia mencari akhirnya ia menemukan ikan yang bagus, ikan nya besar dan berbentuk cantik. Karena ia heran akan kesempurnaan ikan temuannya sang Petani memperhatikan ikan tersebut dengan seksama. Setelah beberapa lama ikan tersebut berbicara kepada si Petani.  Sang ikan meminta si Petani untuk tidak memakannya.
Sebenarnya si ikan adalah Putri yang dikutuk, dan pak petani berhasil membebaskan kutukan ya. Sebagai imbalan nya sang Putri menjadi istri dari Petani tersebut, tetapi dengan syarat tidak menceritakan asal usulnya. Setelah beberapa lamanya menikah akhirnya mereka dikaruniai seorang anak. Seiring berjalannya waktu anak mereka tumbuh besar, tetapi ada suatu masalah si anak selalu saja merasakan lapar.
Suatu hari sang putri menyuruh anaknya untuk membawakan bekal kepada ayahnya yang sedang di sawah. Tetapi karena si anak selalu merasa lapar di tengah perjalanan ai menghabiskan bekal untuk sang ayah tersebut. Tetapi ayahnya mengetahui hal tersebut, dan dia pun marah tanpa sadar terucap kata dari sang ayah “dasar anak ikan” katanya. Dengan menghardik anaknya itu berarti ia telah melanggar perjanjian dengan sang putri, akhirnya ditempat kaki sang petani berdiri muncul air yang sangat deras dan kemudian menjadi telaga, sedangkan sang anak dan putri lenyap entah kkemana. Telaga tersebut kemudian disebut sebagai danau Toba.

Dongeng atau kisah di atas adalah kisah yang sering diceritakan untuk menceritakan asal usul danau Toba.
Demikianlah dongeng asal usul Danau Toba.
Tetapi secara ilmiah danau Toba terbentuk dari sebuah letusan gunung berapi yang sangat besar atau biasa disebut sebagai Supervolcane.  Supervolcane danau toba diperkirakan terjadi sekitar 73 ribu tahun yang lalu. Sebelumnya ada dua letusan  Supervolcane dalam jangka waktu 1 juta tahun. Ledakan Vulkanis yang membentuk kompleks danau Toba seluas 3.000 km persegi memiliki index ledakan 8 Mega Kolosal. Sedangkan volume erupsinya diperkirakan antara 2.000 sampai 3.000 km kubik magma dan 800 km kubik nya terendap kan sebagai abu vulkanis. Ledakan ini tentu sangat besar sekali bahkan dua kali dari letusan gunung Tambora pada tahun 1815 yang pada saat itu efek ledakan gunung Tambora menjadikan belahan Bumi utara mengalami “Tahun Tanpa Musim Panas”.
Menurut seorang peneliti bernama Alan Robock, letusan Supervolcane Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya ini menganalisa emisi 6 miliar ton sulfur dioksida, di dalam simulasi penelitiannya menunjukan pendinginan global maksimum sekitar  15 °C, pada tiga tahun setelah letusan. Jadi dia menyimpulkan garis pepohonan dan salju sekitar 3000 meter lebih rendah dari sekarang, dan dalam beberapa dekade iklim bisa kembali pulih.

Sebenarnya ada banyak versi pendapat dan metode tentang terbentuknya Danau Toba, tetapi para ahli setuju kalau letusan  SuperVolcano danau Toba mengakibatkan hujan abu yang sangat tebal hingga berlapis-lapis dan gas beracun nya yang masuk ke dalam atmosfer dan memengaruhi iklim dunia pada saat itu. Beberapa ilmuwan menduga akibat letusan tersebut memicu zaman es 1000 tahun kemudian.

Demikianlah asal usul Danau Toba yang terkenal itu, semoga bisa menambah pengetahuan dan kecintaan kita kepada Indonesia.

Dunia, Ia Memotong Jalan Bagi Para Wali-Nya.


Setelah memahami 4 sifat yang menyebabkan penyakit hati, maka sifat yang selanjutnya atau sifat yang kelima adalah sifat bakhil. Bakhil yaitu se bentuk sifat yang ditimbulkan oleh rasa hubu al dunya (cinta dunia). Satu lukisan yang ada dalam Al-Qur'an tentang sifat bakhil ini digambarkan dengan “tangan menggenggam”. Ini berarti bahwa bakhil adalah suatu sifat enggan atau bahkan tidak mau untuk memberikan apa yang dimilikinya kepada orang lain. Ada dua sebab mengapa sifat bakhil ini muncul, yaitu karena adanya suatu anggapan bahwa harta benda yang dimiliki seseorang adalah milik dia sendiri yang dengan susah payah ia memperolehnya, dan karena ada rasa ketakutan bahwa harta benda yang diberikan kepada orang lain akan habis.

Sebagai gambaran dari rasa cinta yang berlebihan kepada dunia, bakhil akan senantiasa membuat manusia selalu berpikir dan berusaha supaya harta benda yang dimilikinya tidak habis atau jatuh kepada orang lain. Sehingga dengan demikian ia akan selalu berupaya dengan segenap hati dan pikirannya untuk menjaga dan mengamankan harta benda yang dimilikinya itu, tanpa mengenal waktu dan lelah. Dalam hati yang dikuasai oleh sifat bakhil tidak ada pikiran-pikiran yang lain kecuali bagaimana harta bendanya aman dari orang lain. Tentu segenap pikiran dan tenaga akan selalu mengarah ke situ. Makanya kita tahu bahwa orang-orang bakhil, seberapapun kekayaan yang ia miliki itu tidak akan membuatnya menjadi tenang, tetapi malah sebaliknya ia akan selalu diselimuti rasa gelisah karena kekhawatiran kehilangan harta. Tidak ada sedikitpun rasa tenang dan tenteram dalam hati yang bakhil. Yang ada hanya kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan sehingga dengan demikian seluruh waktu dari sisa hidup yang dijalani tidak ada upaya untuk pembenahan diri supaya menjadi seorang hamba yang baik, tetapi setiap saat dan setiap waktu yang terpikirkan hanyalah bagaimana kekayaannya itu bertambah dan terus bertambah. Hati yang sudah tumbuh rasa bakhil tentu tidak akan bisa mengingat Tuhan yang dengan itu ia akan berada dekat dengan-Nya, tetapi sebaliknya ia akan selalu berpikir tentang dunia yang itu menyebabkan jarak semakin jauh antara ia dan Tuhan.

Sifat selanjutnya yang keenam, yang bisa menyebabkan penyakit hati adalah sifat hubbu al dunya atau cinta dunia. Apa yang ditimbulkan dari rasa cinta kepada dunia? Cinta terhadap dunia akan melahirkan sifat-sifat keduniaan yang lain, bila cinta tidak bisa memiliki sesuatu yang dicintainya itu, maka bagaimanapun juga cinta akan menjadi kekuatan besar untuk mencari berbagai cara supaya bisa mencapai maksud dan tujuannya. Inilah barangkali sebuah jawaban, mengapa orang-orang yang begitu berlebihan mencintai dunia akan tumbuh rasa ambisius untuk mencari dunia. Bila pencahariannya itu gagal maka dengan segala cara ia akan berupaya supaya memperolehnya walaupun dengan menghalalkan yang haram, membolehkan yang seharusnya tidak boleh atau membenarkan yang itu tidak benar. Itulah mengapa Nabi sendiri mengatakan bahwa “Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan”

Dalam tulisannya, Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya dunia itu adalah musuh Allah swt., musuh para wali-Nya, dan musuh para musuh-Nya. Dunia menjadi musuh Allah karena ia memotong jalan bagi para wali-Nya. Karena itulah Allah tidak memandangnya sejak dia menciptakannya. Ada pun dunia sebagai musuh para wali-Nya, karena ia menampakkan keindahan pada mereka dan meliputi mereka dengan bunga dan keindahannya. Sehingga mereka meminum kepahitan kesabaran dalam memutuskan hubungan dirinya dengan dunia. Sementara itu, dunia sebagai musuh bagi para musuh-Nya, maka sesungguhnya dunia itu mengangkat mereka satu derajat demi satu derajat dengan tipuan nya dan menangkap mereka dengan ajalnya. Sehingga mereka percaya kepada dunia dan berpegang padanya. Lalu dunia menelantarkan mereka pada saat mereka memerlukannya”.

Memang, Islam memandang bahwa kehidupan dunia dengan segala isinya sebagai suatu kenyataan yang riil. Islam tidak mengingkari adanya kebutuhan-kebutuhan manusia yang bersifat duniawi. Bahkan Islam sendiri memerintahkan manusia untuk memperbaiki keberadaan kehidupan di dunia dan melarang manusia untuk lari jauh darinya. Hanya saja yang dilarang dalam Islam sebenarnya adalah mencintai dunia. Orang boleh saja memiliki harta tapi jangan sekali-kali untuk mencintainya. Seseorang boleh menjadi kaya raya, tetapi ingat, dalam hatinya tidak boleh ada rasa cinta terhadapnya.

Dalam pandangan sufi, dalam hati tidak boleh ada dua cinta. Cinta kepada dunia dan cinta kepada Allah adalah sesuatu yang kontradiktif. Manusia harus memilih salah satu dari keduanya; mencintai dunia atau mencintai Allah, sebab dua pilihan tersebut membawa konsekuensi sendiri-sendiri. Jika ia menetapkan pilihan mencintai dunia maka di dalam hatinya tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan. Begitu juga halnya jika Allah dijadikan sebagai yang dicintainya, maka dunia baginya tidak akan mempunyai daya tarik untuk dicintainya. Jadi jelas sekali dalam masalah ini bahwa cinta dunia akan bisa membunuh perasaan cinta kepada Tuhan, Begitu sebaliknya mencintai Tuhan maka dengan sendirinya perasaan cinta dan kesenangan kepada Dunia akan sirna.

Ketujuh, sombong dan ujub. Kedua sifat jelek dan penyakit hati ini sesungguhnya bersumber pada sebab yang sama, yaitu ada satu perasaan bahwa di dalam dirinya itu mempunyai suatu kelebihan. Kelebihan di sini yang dimaksud adalah dalam segala hal, bisa kelebihan kekayaan, ilmu kekuatan, rupa, atau kelebihan-kelebihan lain. Dari sinilah sesungguhnya sifat sombong bisa menyerang siapa saja yang dalam hatinya mempunyai perasaan bahwa disalam dirinya memiliki kelebihan-kelebihan dalam hal tertentu. Bagi orang yang berilmu sifat sombong itu senantiasa ada jika di dalam hatinya ada satu perasaan bahwa mempunyai nilai lebih dalam hal keilmuan dari pada orang lain.

Saturday, September 8, 2012

Mengetahui Tiga Perbedaan Dasar Antara Buah dan Sayur Beserta Ciri-cirinya.

Kemarin ditanya adik apakah tomat itu termasuk sayur? Karena dia melihat di sebuah TV Katanya Tomat adalah sayur, padahal waktu saya masih kecil dulu nyanyiannya Buah Tomat bentuknya bulat, rasanya amat lezat, membikin badan sehat dan kuat :D, apa lagunya yang salah ya??? Apa lagi Istri saya juga sependapat kalau Tomat itu merupakan sayuran,  wah kalau benar begitu si pencipta lagu telah melakukan penipuan kepada anak-anak. Benar tidak ya??

Setelah mencari-cari kesana-kemari akhirnya saya menemukan sebuah titik terang dari masalah Pertomatan tersebut. Jadi gini ceritanya dilihat dari istilahnya, sayur merupakan istilah dalam dunia kuliner, sedangkan buah adalah istilah dalam ilmu biologi, jadi tidak ada istilah sayur dalam ilmu biologi, kalau gak percaya tanyakan sana sama Bu Guru SD (bukan iklan mie ).

Pengertian buah sendiri secara biologi adalah bagian tanaman yang berfungsi sebagai cadangan makanan dan melindungi biji sebagai bakal hidup generasi penerus tanaman yang berupa biji tersebut.

Nah kalau dari pengertian tersebut berarti Tomat termasuk buahkan?? jadi pencipta lagu buah tomat tidak melakukan penipuan dong.

Itu kalau ditinjau dari ilmu biologi, coba kita lihat dulu bagaimana definisi buah dan sayur
oleh ahli botani.
Buah di definisikan sebagai ovarium matang tanaman unggulan, dan pada umumnya pada pohon buah terdapat bunga, sementara itu istilah sayur lebih mengacu ke bagian-bagian tanaman yang bisa diolah untuk dimakan, seperti daun dan juga akar.


  Lalu apa saja perbedaan antara Buah dan Sayur ?

Pertama :
Buah dan sayur mempunyai peran sendiri-sendiri, sayur adalah bagian tumbuhan yang berfungsi sebagai penjaga tanaman untuk kelangsungan hidup sang tanaman, seperti tugas daun yang mengumpulkan panas matahari untuk melakukan fotosintesis dan akar yang berfungsi sebagai pengangkut air dan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman.
Sedangkan buah memainkan peranan sebagai penyebar atau peningkat populasi tanaman. Atau dalam istilah biologi disebut reproduksi.

 Kedua
Banyak orang yang salah paham, mereka mengira perbedaan buah dan sayur dilihat dari rasanya itu karena kebanyakan buah memang terasa manis jadi yang selain rasa manis bukanlah buah. Seperti Tomat, labu, cabe, mentimun, alpukat, kacang polong, labu, zucchini, paprika, buah zaitun.
Karena buah-buahan tersebut tidak terasa manis bukan berarti masuk dalam kategori sayur. Kenapa demikian?? kembali lagi pada definisi ovarium sayur dan buah diatas.

 
Ketiga
Tidak sedikit jenis tanaman yang kita konsumsi bukan termasuk buah maupun sayuran. Meskipun demikian jenis tanaman tersebut baik untuk di konsumsi. Misalnya kacang tanah, ini bukanlah jenis dari buah maupun sayur, para ahli botani lebih mengelompokkan kacang tanah sebagai jenis kacang-kacangan dari pada buah maupun sayur.  Jamur, ubi,  juga tidak dalam kategori ini
 

Dan akhirnya setelah melihat dari pengertian buah dan sayur secara biologi dan botani, dapat diambil kesimpulan bahwa tomat masuk dalam keluarga Buah. Selamat buat Tomat :D

Semoga tulisan ini bisa memuaskan rasa penasaran anda. Terima Kasih

Secara Perlahan Amarah Menghilangkan Perasaan Yang ada di Hati


Menyambung postingan sebelumnya tentang 9 penyakit hati menurut Al-Ghozali, penyakit yang kedua setelah tindakan israf adalah berbicara yang tiada guna. Nabi bersabda, “ Berbicaralah yang baik, atau kalau tidak bisa lebih baik kamu diam”. Banyak sesungguhnya bahaya yang ditimbulkan oleh lidah. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang bisa saja selamat atau malah mendapat bencana besar dari orang lain tergantung pada ke hati-hatiannya dalam menjaga bicaranya. Agama memerintahkan untuk tidak bicara banyak apalagi yang tiada manfaat dan menganjurkan untuk diam adalah upaya dalam penyelamatan manusia dari bencana tersebut.

Berbicara yang tiada guna sebenarnya merupakan bentuk pengumbaran nafsu lidah. Bisa dipastikan bahwa orang-orang yang sering berkata yang tiada guna itu banyak omongnya. Orang-orang demikian biasanya sering kali mengumbar bicara kesana kemari tanpa tahu maksud dan tujuannya, hingga pada akhir pembicaraan ujung-ujungnya adalah sebuah gosip atau mencari-cari kelemahan dan kesalahan orang lain. Itulah mengapa bisa dipastikan bahwa semakin seseorang itu banyak bicaranya maka semakin banyak pula salah dan dosanya terhadap orang lain.

Selain mempunyai madzarat terhadap keselamatan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, mengumbar omong ternyata bisa menyebabkan kelalaian seseorang untuk mengingat Tuhan. Dalam hal ini Al-Ghozali mengatakan:
“Ketahuilah, bahwa jika engkau mengatakan sesuatu yang tidak ada manfaat bagimu, maka engkau telah menyia-nyiakan umurmu dan menempatkan dirimu pada penghisaban serta mengganti lebih baik dengan yang lebih rendah. Kalau engkau mengingat Allah sebagai ganti dari berbicara yang tiada guna, atau engkau diam, atau engkau menyibukkan diri dengan berpikir, niscaya engkau akan memperoleh suatu derajat yang mulia”.

Dengan banyak melakukan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya sama sekali itu berarti telah membuang banyak waktu untuk kesia-siaan. Banyak waktu terbuang begitu saja untuk hal-hal yang mubadzir. Tentu ini akan membawa suatu konsekuensi, yaitu waktu untuk mengingat Allah akan tersita dan tersedot pada waktu yang sia-sia. Dan jika hal ini terus saja berlalu, di mana banyak waktu terbuang sia-sia bahkan akan menambah banyak dosa sementara itu waktu untuk mengingat dan dzikir kepada Allah hanya dalam porsi yang sangat minim, maka perlahan namun pasti hati akan berada jauh dan semakin jauh dengan Allah.

Sifat yang ketiga adalah marah. Marah adalah se bentuk ketidak mampuan seseorang untuk menahan hawa nafsunya. Al-Ghazali mengatakan bahwa marah adalah api yang tersembunyi di dalam hati seperti tersembunyi nya bara api di dalam sekam yang akan muncul dengan tiupan dari dalam. Kemungkinan api marah tersebut adalah sebuah api yang merupakan asal penciptaan setan.

Suatu saat Rasul berkata kepada para sahabat, “Siapakah menurut kalian orang perkasa itu?” Para sahabat menjawab : “Ialah orang yang tidak terkalahkan oleh siapaun”. Maka Rasulullah menjawab : Bukan itu, melainkan orang yang perkasa adalah orang dapat menguasai dirinya ketika marah“.

Seseorang dapat diketahui apakah ia berhasil dalam mengekang hawa nafsunya atau tidak dapat dilihat sejauh mana ia dapat meredam kemarahannya. Memang teramat sulit untuk mengekang nafsu amarah ini. Sebab tindakan ini merupakan perjuangan untuk melawan dirinya sendiri dan bukan orang lain. Tapi hal tersebut bukan lah tidak mungkin untuk bisa di upayakan. Bagamanapun nafsu marah harus diperangi sebab amarah seringkali membuat manusia tidak tahu lagi siapa dirinya. Kita bisa lihat bagaimana mana orang yang sudah dikuasai oleh kemarahannya, maka pada saat itu matanya buta, perasaannya seketika hilang, perhitungan-perhitungan akal sudah lagi tidak digunakan. Ia tidak lagi melihat dan menimbang akibat apa yang nanti akan terjadi. Ia tidak mempedulikan semua itu, yang penting ia sudah melampiaskan kemarahannya.

Secara Psikologis kemarahan akan menjadikan hati menjadi keras. Secara perlahan-lahan kemarahan akan menghilangkan perasaan-perasaan kemanusiaan yang ada dalam hati seseorang, dan jikalau perasaan hati menjadi keras sebab tidak ada lagi perasaan kemanusiaan didalamnya, maka hati akan menjadi beku seperti batu yang tentu demikian akan sulit sekadar untuk menerima bisikan-bisikan lembut yang datang dari Tuhan.

Keempat, hasad. Hasad adalah suatu sifat membenci terhadap keberhasilan yang telah diperoleh oleh orang lain. Dalam bahas kita hasad bisa diartikan iri dan dengki.

Sisi keburukan yang ada dalam sifat hasad sebenarnya bukan hanya berupa kebancian terhadap orang lain karena keberhasilan nya, melainkan juga terhadap sifat ambisi yang begitu kuat untuk memiliki keberhasilan tersebut. Sehingga dengan demikian jika seseorang telah mendapatkan keinginannya itu dia akan bangga dengan keberhasilan nya. Atau jika ia tidak berhasil mencapai ambisinya maka kebencian nya terhadap orang lain akan bertambah pula.

Tidak ada sisi yang baik dalam sifat hasad. Semua sifat yang ditimbulkan darinya akan selalu berefek negatif. Makanya Nabi sampai bersabda dalam sebuah hadis mengenai sifat hasad ini :

“Sifat hasad sesungguhnya akan memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”

Menurut Imam Al-Ghazali, sifat hasad sesungguhnya bersumber dari rasa dendam. Dan dendam adalah merupakan akibat dari marah. Kedua sifat ini adalah merupakan bara api yang sudah ada dalam diri manusia yang sewaktu-waktu akan terbakar jika sifat hasad ini mulai ada. Dan jika ini sudah benar-benar terjadi dalam diri manusia maka seluruh kebaikan-kebaikan yang ada dalam catatan amalnya akan ikut terbakar hangus sampai yang tersisa hanya tinggal dosa-dosa yang semakin lama semakin menumpuk. Jika hati sudah tidak ada lagi kebaikan di dalamnya hingga yang tertinggal hanyalah kotoran-kotoran hitam akibat dosa, maka hati tersebut lambat laun akan menjadi kelam dan hingga akhirnya akan mati.

Friday, September 7, 2012

Sifat-sifat Jelek Bagaikan Virus Yang Akan Menyerang Kesehatan Hati

Sifat-sifat Jelek Bagaikan Virus Yang Akan Menyerang Kesehatan Hati

Seorang Sufi seharusnya betul-betul menguasai ilmu syariat agama. Makanya sebelum seseorang memasuki dunia Sufi ia harus belajar dan mendalami ilmu-ilmu Agama terlebih dahulu. Hal tersebut adalah merupakan bekal dalam pencarian nya akan hakikat dan rahasia dari semua perintah-perintah Allah yang tertuang dalam syariat Agama. Pengetahuan Sufi terhadap ilmu-ilmu syariat adalah seumpama pisau yang akan digunakan untuk menemukan rahasia apa dibalik syariat agama yang nampak secara formalitas itu.

Setelah seorang sufi di awal perjalanannya telah mengamalkan segala syariat agama dengan berusaha menggali rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalamnya, langkah selanjutnya dalam upaya penyucian hati, menurut Al-Ghazali adalah dengan menghilangkan akhlak-akhlak jelek yang ada dalam dirinya lalu menggantinya dengan akhlak yang terpuji.

Bagi Al-Ghazali dan dalam tinjauan ilmu tasawuf secara umum, sifat-sifat jelek adalah seumpama sebuah virus yang akan menyerang kesehatan hati. Sedangkan obat penangkalnya adalah akhlak atau sifat terpuji. Dalam diri manusia sebenarnya dua unsur tersebut sudah melekat pada dirinya. Dengan kata lain,unsur virus penyakit hati itu sudah ada dalam diri manusia tetapi pada sisi lain obat penangkalnya pun sudah tersedia juga dalam dirinya. Mana antara keduanya yang akan berkembang, penyakitnya atau penangkal nya adalah tergantung sejauh mana seorang manusia berupaya untuk kesembuhan nya, atau membiarkan penyakit-penyakit tersebut bersarang hingga sampai pada tahap kronis.

Sakitnya hati memang tak separah penyakit anggota tubuh lain yang nampak secara dhahir. Pada penyakit dhahir (fisik) puncak dari dampak yang ditimbulkannya adalah matinya tubuh atau jasad tetapi dampak akhir dari sakitnya sebuah hati manusia akan mengakibatkan matinya fungsi hati itu sendiri. Padahal hati dalam tubuh manusia adalah pemimpin dari anggota tubuh . Hati adalah pengendali. Ia adalah pemegang kekuasaan tertinggi, satu-satunya penentu dalam putaran roda perilaku manusia. Apa yang akan terjadi pada diri manusia jika hatinya sudah mati?

Satu-satunya penyebab dari kematian hati manusia adalah serangan penyakit-penyakit hati itu sendiri. Banyak macam dan jenis penyakit-penyakit hati yang kesemuanya adalah dalam kategori sifat atau akhlak jahat manusia. Parahnya lagi ternyata penyakit-penyakit tersebut tidak berada di luar tubuh manusia tetapi sudah ada dan bercokol dalam diri manusia. Sisi bahaya yang akan membahayakan kelangsungan hidup manusia. Sisi bahaya yang ditimbulkan dari kematian hati adalah mereka tidak lagi dikuasai dan di komando oleh hati nurani manusianya . Sifat-sifat kemanusiaan nya akan hilang terkubur bersama kematian hatinya. Manusia tidak akan bisa menerima cahaya Zdat Tuhan sebab cermin hatinya telah hangus, sehingga di dalam dirinya tidak sedikitpun terlintas wajah Tuhan. Akibat selanjutnya adalah manusia tidak akan bisa menerima kebenaran, baik yang datang dari langit maupun yang datang dai bumi. Persamaannya sirna dan jiwa kemuliaannya musnah. Dalam diri manusia sudah tidak ada sifat-sifat baik. Yang ada dan tersisa adalah sifat -sifat jahat yang telah dikuasai oleh hawa nafsunya. Manusia-manusia seperti itu akan berada jauh dan sangat jauh dari Allah, bahkan Allah pun membelakangi nya. Jika manusia sudah seperti itu sisi terdekat bagi mereka adalah bukan Tuhan melainkan setan. Wajah-wajah mereka memang berkepala manusia, tetapi jiwanya adalah iblis. Nama-nama mereka memang dalam sebutan manusia, tetapi kelakuan mereka adalah binatang, dan bahkan lebih hina dari hewan. Mereka memang punya hati, tetapi tak ada perasaan kemanusiaan di dalamnya. Juga mereka punya mata, tetapi tak punya penglihatan di dalamnya. Mereka pun punya telinga, tetapi tak ada pendengaran nya sama sekali di dalamnya. Allah menyumpah mereka dengan neraka Jahannam sebagaimana penegasan-Nya sendiri dalam Al-Qur'an :

“ Dan sesungguhnya telah Aku sediakan mereka neraka Jahannam bagi kebanyakan Jin dan Manusia, (karena) mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan nya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka punya mata (tetapi) tidak dipergunakan nya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan nya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al A'raaf:179)

Ada 9 kategori sifat jelek manusia yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai penyakit hati, yaitu :
1. makan minum berlebihan
2. berbicara tiada guna
3. marah
4. hasut
5. bakhil
6. hubbu al dunya (cinta harta, pangkat dan kedudukan)
7. sombong
8. ujub
9. riya'

Kesembilan sifat atau laku inilah yang mempunyai tingkat bahaya yang begitu besar dalam mematikan hati manusia. Bagaimanakah proses atau cara kerja penyakit-penyakit tersebut dalam membunuh hati?

Pertama, makan dan minum secara berlebihan, kalau dalam terminologi Al-Qur'an disebut sebagai israf. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang melarang tindakan israf ini, bahkan Allah secara tegas menyatakan bahwa Dia sangat tidak suka dengan orang yang berlebih-lebihan (musrifin). Tindakan israf selain mempunyai dampak buruk bagi pelakunya, juga merupakan tindakan yang tidak ada gunanya sama sekali. Dalam kaitannya dengan masalah materi, misalnya israf bisa berupa tindakan penghambur-hamburan yang dalam istilah Al-Qur'an disebut sebagai mubadzir. Sementara dalam keterangan lain disebutkan bahwa para pelaku mubazir adalah sekutunya setan.

Suatu tindakan israf atau mubadzir dalam kaitannya dengan soal makan minum adalah wujud mengkonsumsi makanan secara berlebihan melebihi kapasitas kemampuan atau kewajaran isi perut. Tindakan seperti ini tentu akan membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia baik ditinjau dari segi kesehatan maupun psikologi. Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan:
“Ketahuilah bahwa sumber segala penyakit adalah syahwat perut. Kemudi dari syahwat perut ini muncul syahwat kemaluan. Syahwat perut itulah yang menimpa Adam a.s. Sehingga ia dikeluarkan dari syurga. Syahwat perut pula yang menyebabkan seseorang mencintai dan mencari keduniaan”.


Thursday, September 6, 2012

Hati Yang Suci Memiliki Kekuatan Untuk Mengenal Allah



Selain mempunyai daya untuk menggerakkan ke arah mana manusia itu berperilaku, hati ternyata juga memiliki suatu power untuk mengenal Allah. Allah sendiri berfirman dalam salah satu hadist kursy sebagai berikut:

Bumi dan langitku tidak dapat memuat-Ku. Tetapi hati hamba-Ku yang berimanlah yang lemah lembut dan tenang yang dapat memuat-Ku.

Ungkapan hadist di atas menunjukkan betapa besar kedudukan pemimpin dalam dunia tubuh, di sisi lain hati adalah wadah untuk bisa mengetahui hal-hal gaib yang itu tidak bisa dicapai oleh bagian-bagian lain dari tubuh manusia. Al-Gazali memberikan suatu perumpamaan bahwa hati itu laksana sebuah cermin. Selama cermin hati itu bersih dari kotoran-kotoran yang diakibatkan oleh dosa, maka hati bisa menerima cahaya Dzat Tuhan. Dengan demikian Tuhan akan senantiasa terbayang dalam cermin hatinya. Di dalam situasi inilah, di mana hati seorang manusia sudah mampu menampung cahaya Dzat Allah, maka ia adalah merupakan cerminan dari serang Sufi sejati.
Penyucian hati (tazkiyatun nafsi) dalam dunia sufi memang merupakan suatu laku yang teremat berat dan membutuhkan waktu yang lama. Upaya ini membutuhkan suatu kesabaran, ketelatenan dan kesungguhan yang luar biasa. Dalam keteranga lebih lanjut Imam Al-Gazali menyebutkan bahwa cara yang harus dilakukan dalam upaya untuk menyucikan diri adalah dengan transformasi akhlak , dari akhlak madzmumah (akhlak tercela) menuju pada akhlak mahmudah (akhlak terpuji). Cara tersebut menghendaki hilangnya penyakit-penyakit hati yang menghalangi realisasi tujuan itu agar dapat hati yang kosong dari segala sesuatu dari yang selain Allah dan mengisinya dengan banyak berdzikir kepada Allah. Dalam karyanya Al Tarbantin fi Ushul al Din, dia ia menerangkan proses transformasi akhlak ini yaitu dimulai dengan melaksanakan amalan-amalan yang bersifat dhahiriah atau yang disebut dengan amalan syariah yang oleh Al-Ghazali diklasifikasikan dalam 10 macam amal, yaitu : shalat, zakat, puasa, haji, qira’atil Al-Qur'an, zdikir kepada Allah di setiap kesempatan, mencari kehidupan yang halal, melaksanakan hak-hak muslim, amar ma'ruf nahi munkar, dan ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah secara sempurna dan mendalami rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.

Dari 10 klasifikasi amalan syari'at tersebut, enam di bagian awal adalah dalam kategori dalam ibadah mahdah yaitu se bentuk ibadah ritual yang mempunyai hubungan langsung dengan Allah, sedangkan empat amalan yang terakhir adalah dalam kategori ibadah mu'amalah, yaitu se bentuk ibadah sosial yang bertendensi pada hubungan antar manusia.

Bagi seorang sufi pengalaman syariat agama di samping merupakan suatu kewajiban sebagai individu seorang Muslim yang mukallaf, juga merupakan suatu usaha keras untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran agama Islam itu sendiri, di mana sua syariat agama baik meliputi ibadah ritual maupun ibadah sosial adalah dimaksudkan untuk mensucikan jiwa manusia guna mendekatkan diri kepada Allah. Pengamalan ibadah-ibadah formal sebagaimana ibadah-ibadah di atas sesungguhnya akan mempunyai efek pada kesucian hati yang pada ujungnya akan mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Jadi dengan demikian, dalam ajaran dunia Sufi sebenarnya tidak ada satu tuntunan untuk meninggalkan syariat agama, sebab dengan meninggalkan syariat agama yang telah ditetapkan oleh Tuhan itu tidak akan menjadikan seseorang dekat dengan Allah, tetapi malah sebaliknya akan menjadikan hatinya semakin najis dipenuhi dengan kotoran-kotoran dosa yang pada ujungnya dia akan berada jauh dan sangat jauh dengan Allah.

Sebagai salah satu upaya dan langkah untuk penyucian hati supaya bisa dekat dengan Tuhan, pengamalan syariat yang ada dalam dunia sufi sebenarnya tidak hanya sekadar pengamalan secara formalitas, Dengan kata lain, pengamalan syariat yang dilakukan oleh seorang sufi tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja, tetapi lebih baik jauh dari itu ibadah yang mereka lakukan adalah dengan penghayatan yang dalam akan rahasia yang terkandung di dalamnya. Kaum sufi sufi sebenarnya belum merasa puas dengan hanya melaksanakan formalitas ibadah, sehingga mereka memberikan porsi yang lebih pada kualitas maupun kuantitas ibadah formal tersebut. Kuantitas ibadah mereka tambah dengan memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an dan amalan sunnah yang lain, sedangkan kualitas ibadah adalah dengan menangkap dan merasakan rahasia yang tersembunyi dalam syariat tersebut.

Untuk menangkap sebuah rahasia yang tersembunyi dalam syariat memang dibutuhkan satu pengetahuan yang luas dan mendalam tentang syariat itu sendiri. Rasanya tak mungkin bagi seseorang yang tak mempunyai ilmu agama yang begitu luas dan mendalam akan mengetahui rahasia-rahasia syariat agama, karena itu menurut pandangan sebagian sufi apabila seorang muslim ingin meningkatkan kualitas pendekatan dirinya kepada Allah maka ia terlebih dulu harus mempelajari hukum fikih yang meliputi bidang ibadah, mu'amalah, pernikahan dan hukum waria sebagaimana sudah dirumuskan oleh para ulama dalam hukum fikih madzab empat. Idealnya seseorang yang akan menjalani kehidupan tasawuf sudah mendalami kajian ilmu fikih empat madzab tersebut, atau sekurang-kurangnya mendalami salah satu madzab fikih yang menjadi pilihannya. Lazimnya para sufi menganut salah sati madzab fikih dari empat madzab fikih yang tersedia, misalnya fikih Imam Syafi'i atau yang lain. Dalam hal ini Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang menjalani kehidupan tasawuf tanpa didasari oleh pengamalan hukum fikih, maka ia menjadi kaum Zindiq -menyimpang dari agama yang benar- dan barangsiapa yang hanya melaksanakan hukum fikih -ibadah formal- tanpa dilengkapi oleh pengamalan tasawuf maka ia akan berdosa, dan barangsiapa yang memadukan keduanya secara seimbang, maka ia akan meraih hakikat kebenaran”.

Wednesday, September 5, 2012

Segumpal Darah Yang Menentukan, Itulah Hati


Anggapan keliru jika ada yang menganggap antara dunia dan Tuhan adalah dua hal yang selalu bermusuhan dan tidak bisa disatukan. Hingga seseorang harus memilih salah satu dari keduanya. Jika dunia yang dipilih maka ia akan terlempar jauh dari Tuhan. Sebaliknya jika Tuhan yang dipilih konsekuensi logis nya ia akan terlempar jauh dari dunia. Dan mengenai sikap maupun perilaku mereka yang aneh, menurut mereka itu bukankah sesuatu bentuk keanehan tetapi sebagai bentuk latihan mental (biasanya disebut riyadhah) yang memang harus dilalui untuk menuju kedekatan dengan Nya. Tetapi, apakah memang benar bahwa jalan untuk menuju kepada Allah itu harus dilalui dengan jalan seperti itu?? (lihat posting sebelumnya)

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat lagi satu kasus yang sama seperti posting sebelumnya tetapi dengan motif yang berbeda. Kisah ini terjadi pada saat zaman Nabi.

Suatu saat ada salah seorang sahabat Nabi yang lewat di sebuah lembah yang bermata air jernih dan segar. Lembah itu sangat mempesona sehingga seorang sahabat itu berfikir untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan menghabiskan waktu untuk beribadah dilembah itu. Dalam penafsiran kita mungkin ia akan masuk dalam dunia tasawuf dan ingin menjadi seorang sufi. Sehingga Ia memilih tempat yang sepi yang jauh dari keramaian itu untuk menghindar dari komunitas manusia, dengan niatnya itu lantas sahabat tersebut lantas mengadukannya kepada Rasulullah. Lalu apa jawaban dari Rasulullah mengenai maksudnya tersebut? Rasulullah bersabda :

“Jangan engkau lakukan itu, jangan pula siapa pun diantara kamu, karena kesabaran seseorang di sebagian negeri Islam akan lebih baik daripada seseorang dari kamu selama puluhan tahun ”.

Dalam riwayat yang lain versi jawaban Rasul kepada sahabat tersebut sebagai berikut:
“Jangan engkau lakukan itu, kedudukan engkau di jalan Allah lebih utama dari shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun, tidakkah engkau ingin Allah mengampuni dosamu dan memasukkan kamu ke surga? Maka berjuanglah di jalan Alah”(HR: At Turmuzi).

Ternyata Nabi melarang sahabat tersebut untuk mengasingkan diri walau dengan alasan ibadah. Nabi menganggap salah terhadap orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah dengan pengasingan diri dan meninggalkan kenyataan hidup. Ada jalan yang lebih baik dan lebih utama dari pada mengasingkan diri, yaitu dengan tetap bersabar dalam perjuangan dalam menegakkan Agama Allah di tengah-tengah masyarakat. Inilah jalan yang lebih dekat menuju Allah. Dengan kata lain inilah jalan yang tepat untuk menjadi seorang Sufi.

Ada banyak kasus dengan bermacam motif yang melatarbelakangi seseorang untuk memasuki dunia tasawuf dengan jalan yang salah. Dan kasus serupa pun pasti akan muncul di kemudian hari.

Menurut Ihsanuddin dalam ma'rifat, jalan menuju Tuhan itu tidak ter hingga jumlahnya. Namun dari sekian banyak jalan tersebut mempunyai dasar yang sama, yaitu semua bersifat personal (individuality). Artinya setiap setiap orang harus mencari jalan yang sesuai dengan bakat serta maqam-maqam yang dapat dicapai oleh jiwanya. Jalan yang ditempuh seseorang belum tentu sesuai dan berhasil jika diterapkan kepada orang lain. Karena suasana hati (maqam)nya belum tentu sama antara satu orang dengan orang lain.

Dalam dunia sufi, sebuah jalan yang harus dilalui seseorang untuk sampai kepada Allah lazim disebut tariqah. Tetapi buka jalan sembarangan yang dimaksud di sini, tetapi suatu jalan atau tariqah yang telah disahkan sendiri oleh kalangan Ulama Sufi yang disebut dengan tariqah al mu'tabarah (jalan tariqah yang sah). Di dalam tariqah ini ulama Sufi telah menyusun teori-teori jalan bagaimana seorang Sufi harus mulai melakukan suatu amalan dan mengakhirinya. Jelasnya, dalam tariqah akan diketahui bagaimana start dan finis jalan bagi seorang Sufi. Walaupun ada saja perbedaan pendapat antara kalangan Ulama Sufi dalam masalah teori-teori tasawuf yang harus diterapkan, namun setidaknya akan dapat diketahui apakah jalan yang harus ditempuh seorang sufi itu sesuai dengan beberapa teori yang dibangun oleh kalangan Sufi sendiri. Dan untuk memudahkan pembahasan dan juga untuk keabsahan analisa penulis akan banyak mengambil rujukan dari pemikir seorang tokoh yang sangat kharismatik yaitu imam Al-Ghazali.

Sebagai jalan yang harus ditempuh oleh seorang Sufi tariqah mempunyai sarat utama yang harus dilakukan yaitu penyucian hati dari segala sesuatu yang selain Allah. Imam Al-Ghazali dalam Al Munqidz Min al Dlalal menyatakan hal sebagai berikut :

“Tariqah itu awal, syarat-syaratnya adalah penyucian hati secara keseluruhan dari apa saja selain Allah. Dan kunci pembuka nya laksanakan takbir awal shalat adalah menenggelamkan hati dalam dzikir kepada Allah dan berakhir dengan fana' di dalam Allah”.

Apa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dengan penyucian hati adalah baru berupa satu syarat untuk memasuki jalan tariqah. Jadi, penyucian hati harus diupayakan terlebih dahulu sebelum seorang Sufi itu memulai menampakan kakinya di jalan tariqah para Sufi.

Dalam kajian ilmu tasawuf secara umum, penyucian merupakan suatu syarat mutlak dan merupakan harapan utama yang harus diprioritaskan. Hal tersebut dikarenakan hati merupakan hakikat dari inti dari manusia sendiri. Hal terpenting yang ada dalam diri manusia adalah unsur hati, sebab ia adalah unsur komando utama yang akan menggerakkan seluruh aktivitas anggota badan ke arah mana suatu tindakan itu diarahkan. Hati adalah penentu bagi baik atau tidaknya perilaku seorang manusia, sebab hati sesungguhnya mempunyai kekuatan besar untuk itu. Nabi Sendiri dalam salah satu sabdanya menyatakan hal itu sebagai berikut :

“Ingatlah bahwa di dalam diri manusia itu ada segumpal darah. Jika ia baik maka akan baik seluruh anggota tubuh, tetapi jika ia jelek maka akan jelek pulalah seluruh anggota tubuh. Ingatlah bahwa segumpal darah itu adalah hati”.

Tuesday, September 4, 2012

Contoh Kasus Penyimpangan Jalan Dari Tujuan Semula


Seorang sufi bukan sosok yang menyeramkan. Ia tidak harus memiliki karakter wajah yang khas, berambut dan berjenggot panjang. Ia juga tidak harus berpenampilan berpakaian lusuh, kumal dan compang caping. Juga tidak berperilaku nyleneh. Yang membuat orang lain bingung dan tidak mengerti. Bahkan seoran Sufi tidak wajib sakti, mempunyai kekuatan supranatural dan kemampian magic yang memuat orang terheran.

Sufi, sebutan ini tidak diberikan karena adanya karakter penampilan. Predikat ini diberikan sebab adanya tinkat keimanan dan ketakwaan. Allah mengangkat para Sufi sebagai wali(kekasih) bukan karena penampilan mereka tetapi lantaran kualitas keimanannya yang melebihi dari manusia-manusia biasa. Jadi, tidak ada simbol-simbol unik dalam dunia Sufi kecuali mereka adalah manusia dengan tingkat keimanan yang sempurna. Menurut Ibnu Taymiyah, sesungguhnya wali-wali Allah ada didalam segenap lapisan masyarakat umat Muhammad SAW. Selama mereka tidak termasuk ahli bid'ah dari orang-orang yang bejad moral. Wali Allah ada di dalam golongan ahli Qur'an, ahli ilmu, ahli jihat, pedagang, tukang, pegawai, dan petani.

Itulah Sufi(Wali) sebuah gelar yang diberikan Allah kepada para hambanya yang shalih. Hanya Allah semata sebenarnya yang berhak memberikan panggilan itu. Tidak ada kriteria tertentu untuk mendapat julukan mulia ini selain persyaratan iman dan takwa. Dengan demikian sebenarnya siapapun bisa diangkat Allah sebagai kekasihnya. Dengan kata lain, siapapun sebenarnya bisa menjadi Sufi selagi ia berjalan diatas garis-garis yang teah ditentukan oleh Allah sendiri dalam suatu syariat yang telah dibawa oleh Nabi Muhmmad.

Sebelum diuraikan tentang jalan (tariqah) yang harus dilalui oleh seseorang untuk bisa mendapat pengangkatan waliyullah, terlebih dahulu akan diuraikan tentang sebuah jalan yang salah yang sering kali dilalui oleh para pemula yang kurang paham akan ajaran sufi yang sesungguhnya. Ada dua kasus yang ingin kami sampaikan terlebih dahulu dalam masalah ini. Pertama, ada seorang lelaki yang akibat himpitan ekonomi, ia memutuskan untuk masuk dalam dunia tasawuf dan menjadi seorang Sufi. Sebelumnya tidak ada yang bisa ia kerjakan kecuali hanya menganggur. Ia selalu berusaha untuk mencari pekerjaan, tetapi ternyata Tuhan masih menentukan lain. Mungkin seorang laki-laki ini melum menyadari bahw Tuhan sedang menguji kesabarannya. Ia selalu berfikir dan berfikir tetapi selalu berakir dengan kebingugan dan keputusasaan. Hingga diakir semua itu ia berkesimpulan bahwa, semakin ia memikirkan masalah dunia, maka semakin itu pula ia mengalami kebingungan yang luar biasa. Hatinya semakin gila dan batok kepalanya serasa mau pecah. Lantas apa yang bisa ia kerjakan dengan sisa harapanya yang perlahan mulai hancur?

Sungguh , satu keputusan yang luar biasa, seorang lelaki itu serasa mendapat petunjuk dari Tuhan. Serasa ada yang membimbig dan menuntunnya menuju jalan yang penuh dengan kerohanian. Ia memutuskan untk masuk dalam dunia tasawuf. Ia ingin menjadi seorang Sufi yang bersih dari kebingungan-kebingungan dunia. Ia igin menjadi Wali yang bebas dari penderitaan-penderitaan ekonomi. Ia pergi jauh entah kemana. Ia bertekat untuk membelakangi dunia yang selama ini membuatnya semakin susah dan menjauhkan dirinya dengan Allah. Ia tinggalkan begitu saja keluarga tanpa adanya beban pikiran bagamana dengan nasip anak dan istrinyananti, sebab dalam pikiran lelaki itu anak, istri dan harta dunia adalah satu fitnah yang seringkali menjadikan manusia semakin jauh dari Tuhannya. Ia pergi meninggalkan kampung halamannya dan menjauhkan diri dari hingar bingar komunitas manusia yang menurutnya semakin rusak. Is pergi dari wujud dunia untuk bertemu dengan Allah dengan meninggalkan bermacam pertanyaan-pertanyaan dimana dan bagaimana ia kini.

Kasus kedua, ada seorang teman yang sejak semula ingin memasuki dunia Sufi. Sebelumnya ia memang orang yang suka menyendiri, merenung dan mencoba berfilsafat tentang kehidupan ini. Makanya ia sempat masuk ke perguruan tinggi untuk menjadi Mahasiswa fakultas filsafat. Tidak lama ia kuliah fakultas filsafat , ditengah jalan ia drop out dengan dua alasan yaitu karena biaya dan karena ia tidak puas dengan yang ia dapat dari bangku Universitas.

Sebagai seorang yang sejak semula selalu diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan dari tujuan hidup, maka ia mengambil keputusan yang sama persis dengan keputusan yang diambil oleh Imam Al-Ghazali yang meninggalkan Bagdad, yaitu meninggalkan bangku kuliah dan keluarganya untuk menemukan jawaban yang pasti. Ia memilih tempat yang dirasa sesuai, yaitu tempat-tempat pemakaman para Wali(tempat-tempat peziarahan Wali Songo). Apa yang ai lakukan disana. Sudah pasti di tempat-tempat tersebut ia menjalani kehidupan seorang Sufi.

Ada banyak keanehan dan keganjilan yang dilakukan teman ini dalam memulai “kariernya” sebagai Sufi yang diantaranya seperti, ia menanggalkan pakaian yang bisa ia kenakan dan menggantinya dengan pakaian ala orang gila. Tidakk hanya dari segi pakaian saja, bahkan ia bertingkah laku seperti orang gila. Apa kini ia menjadi gila?? Ternyata tidak, hal tersebut ia lakuka untuk memerangi hawa nafsunya. Ia mematahkan nafsu riya', ujub dan takabur. Dengan berpenampilan seperti itu diharapkan rasa pamer dan riya' supaya dipuji orang itu sirna.

Ternyata keganlan teman ini berlanjut pada hal yang berkaiatan dengan syari'at. Ia sudah mulai berani menggalkan shalat, ia berasalasan hal tersebut ia lakukan untuk menemukan siapa Allah itu sebenarnya. Menurutnya shalat tidak pernah bisa khusyu' sebelum ia menemukan jawabaitu. Ringkasnya ia tidak shalat dulu sebelum ia bermakrifat dulu atau tahu betul tentang hakikat Tuhan. Tapi sampai kapan ia meninggalkan tiang gama itu?.

Itulah dua contoh kasus yang termasuk dalam penyimpangan jalan yang dilalui sebagian orang yang tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Monday, September 3, 2012

Bagaimana Rasulullah Memandang Dunia Ini

Suatu saat Umar berkunjung kepada Rasulullah, dia dapati Beliau sedang tidur-tiduran diatas tikar yang kasar sehingga meningalkan bekas guratan pada lambungnya. Melihat itu Umar menangis, Rasulpun bertanya “Apa yang membuat engkau menangis Umar?” lalu Umarpun menjawab “Aku melihat Kisra dan Kasar tidur diatas sutra, sementara saya melihat Anda tidur diatas tikar ini”. Rasul lalau berkata “Wahai Uar apakah engkau menghendaki Kekaisaran?”

Bagi Nabi, Dunia bukan suatu tujuan akhir dari segalanya. Dunia adalah sebentuk jalan penghubung untuk menuju pada kehidupan yang hakiki, yakni kehidupan akhirat . Tetapi perlu diingat bahwa duni dengan segala gemerlapnya itu bisa juga menjadi penghalang untuk seseorang sampai kepada Tuhan. Dari sini maka Nabi dengan keras melarang kepada kita untuk mencintai gemerlap dunia, sebab dengan encintai dunia adalah pangkal dari semua kehancuran manusia.

Sisi lain yang harus kita pahami juga, bahwa Nabi sebagai manusia layaknya kita ternyata tidak mengelak dari kebutuhan-kebutuhan dunia. Nabi makan, minum mencukupi kebutuhan keluarga layaknya kita. Makanya Nabipun memenuhi kebutuhan itu. Beliau memerintahkan kepada semua umatnya untuk bekerja, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau masih hidup selama-lamanya”, demikian pesan Nabi. Tidak hanya itu, bahkan Allah sendiri menjelaskan dalam surat Al-Qashash:77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmun dari (kenikmatan) duniawi...”

Dari keterangan diatas kiranya dapat dikatakan karakter kehidupan sufi yang dijalani Nabi ternyata tidak membelakangi dunia. Sehingga dengan demikian ada keselarasan hidup antara kebutuhan-kebutuhan dunia dan kebutuhan-kebutuhan hidup akhirat. Gaya hidup sederhana yang dijalani Nabi bukanny membelakangi dunia, tetapi hal tersebut dilakuka sebab Nabi tidak ada rasa cinta kepada dunia, dimana perasaan itu jika sudah hinggap dihati Beliau akan menjadikan hidupnya semakin susah dan gelisah dibuatnya. Bukankah urusan-urusan dunia kalau kita pikirkan terus menerus tidak akan aa habisanya dan akan membuat manusia menjadi semakin gelisah? Dan bahkan bisa menjadi penghalang untuk bisa berada dekat dengan Allah.

Karakter seorang Sufi sejati yang berjalan diatas rel-rel sunnah Nabi sudah barang tentu akan memiliki sikap dan mentalitas terhadap kenyataan dunia seperti Nabi. Nabi melarang kita untuk mencintai dunia bukan melarang untuk mencarinya, sebab kita mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang wajib dipenuhi. Jadi tidak patutu bagi siapa saja yang mengaku sebagai umat Muhammad itu lari dari kenyataan hidup, membelakangi dunia dengan meninggalkan segenap tanggung jawab yang harus ia jalani. Nabi menganggap bahwa dunia sebagai kenyataan yang harus dihadapi dan bukan sebagai tempat persembunyian yang kita harus lari melemparkan diri jauh-jauh darinya.

Satu sisi lagi yang menunjukan bahwa Nabi adalah seorang sufi sejati yaitu dilihat dari segi akhlah beliau. Siapaun akan mengakui bahwa akhlak Nabi begitu agung. Keagungan akhlak beliau tidak hanya yang berhubungan dengan Allah (hablum min Allah) tetapi akhlaknya juga terhadap sesama manusia (hamblummin an nas).banyak riwayat yang menceritakan akan hal itu.

Suatu saat 'Aisyah ditanya bagamana gambarang Akhlak Nabi. Jawabnya “Akhlah Rasulullah adalah Al-qur'an. Allah ridho bersama keridhoan Beliau, dan Dia murka bersama murkanya Beliau ”. Jelas sekali disini bahwa segala tindakanya menjadi akhlak Nabi itu sesuai dengan ajaran-ajaran Al-qur'an. Tidak ada satupun tindakan yang menyimpang darinya. Tindakan Rasul adalah refleksi dari Al-qur'an itu sendiri. “Tuhanku yang mengajari tata krama”, sabda Nabi “Sehingga tata kramaku benar-benar sempurna”. Lanjut Beliau.

Kita bisa lihat betapa Rasul adalah contoh dalam masalah akhlak ini. Dalam masalah kasih sayang, misalnya, diriwayatkan bahwa saat perang Uhud dan wajah beliau tampak begitu kelam melihat apa yang dialami oleh para sahabtnya, kata para sahatanya “Berdoalah Ya Rasullah, semoga mereka (para musuh) tertimpa kekalahan.” Beliau menjawab : “Aku diutus bukan sebagai pencacimaki tetapi aku diutus sebagai penyeru dan pemberi rahmat. Ya Allah, berilah kaumku petunjuk sebab sebenarnya mereka tidak tahu”.

Nabipun dikenal begitu baik dalam pergaulan dengan orang lain, yang mengenai ini Ali bin Abu Thalib berkata “Beliau adalah orang yang paling lapang dada, kata-katanya paling bisa dipercaya, tata kramanya paling halus dan keluarganya adalah paling mulia. Beliau selalu bergaul, bersendau gurau dan berbicang dengan para sahabatnya, bahkan Beliau sangat menyayangi anak kecil, selalu memenuhi undangan orang yang mengundangnya, selalu mengunjungi orang sakit dan selalu menerima permintaan maaf”.

Tentang kerendah hatiannya, diriwatkan bahwa suatu ketika seseorang datang mengunjungi Beliau, namun begiti orang tersebut bertemu dengan Beliau, dia menggigil saking takutnya dan Nabi berkata kepada orang itu, “kenapa kamu ketakutan?aku bukan Raja aku hanya anak dari perempuan suku Quraisy, yang makan juga daging yang dikeringkan(makanan orng-orang miskin pada waktu itu)”.

Sikap pemalu Beliaupun sudah dikenal banyak orang. Dan diriwayatkan, bahwa Abu Sa'id al Khudri berkata “Nabi lebih pemalu dari pada wanita pingitan. Kapan Beliau tidak menyukai sesuatu, kita bisa ketahui dari roman wajahnya:.

Mengenai kegemaran memberi dan derma, beliau dalam hal ini adalah suri tauladannya. Diriwayatkan oleh Jabir bahwa Beliau bersabda “idak pernah sama sekali Rasulullah, ketika dimintai sesuatu, lalu berkata “tidak”. Beliau selalu memenuhi apa yang diminta seseorang kalau beliau memilikinya. Kalau tidak begitu Beliau berjanji akan memberikan kapan bisa memberinya”.

Mengenai akhlah dan tingkah laku beliau dengan orang lain, salah seorang sahabat menggambarkan sebagai berikut “”Rasulullah adalah seorang yang lemah lembut, tidak bersikap keras ataupun kasar, tidak pembual, tidak suka berbuat keji. Beliau selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan dhatinya, dimana Beliau tidak pernah putus asa untuk mengusahkannya. Selain itu beliau telah menanggalkan tiga hal dari dirinya sendiri, yaitu “ riya', sifat angkuh, dan hal-hal yang tidak Beliau ingini. Lebih jauh lagi, Beliau menginggalkan tiga hal untuk orang lain, yaitu tidak mencela atau tidak mencela orang lain, tidak mencari-cari kejelekan orang lain dan tidak memperbincangkan sesuatu kalaau tidak ada gunanya. Ketika beliau berbicara para pendengarnya akan bungkam semua sekan diatas mereka bertengger seekor burung. Ketika Beliau diam merekapun berbicara tanpa pernah bertengkat dihadapan Beliau”.

Dalam kenyataanya, adalah sulit bagi kita untuk mengungkapkan akhlak Nabi. Tetapi setidak-tidaknya dengan uraian tersebut diatas bisa kita jadikan suatu gambaran betapa Nabi Muhammad yang seorang Sufi sejati tersebut masih senantiasa menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan berlandaskan akhlakul karimah. Hal ini tentu bisa dipahamkan bahwa ajaran Sufi yang dicontohkan Nabi mengisyaratkan bahwa seorang Sufi seharusnya menjalin hubungan sosial dengan sesamanya. Ia harus bergumul dengan masyarakat, bersatu dan berpadu dalam kehidupan nyata serta berperilaku yang berlandaskan akhlak mulia yang dicontohkan Nabi. Inilah perilaku Sufi sejati, dimana ia tidak harus menjaga jarak dengan mengisolasi diri sehingga terbuang atau membuang diri sejauh-jauhnya dari komunitas manusia.

Apakah Nabi Seorang Sufi ???


Dalam Artikel ini kami mencoba menggambarkan pola kehidupan Nabi yang penuh dengan nilai-nilai ajaran Sufi akan membimbing kita pada suatu pemahaman tentang siapa seorang yang disebut sebagai Sufi yang sebenarnya.

Sebelum diangkat menjadi seorang Nabi, ada kebiasaan yang sering dilakukan oleh Muhammad, yaiut khalwat atau menyendiri. Sengaja Beliau memilih Gua Hira' sebagai tempat khalwatnya sebab ditempat tersebut jauh dari hiruk pikuk dan keramaian dunia. Mengapa dan apa yang dilakukan Nabi ditempat tersebut?

Pertanyaan ini harus terjawab untuk eluruskan persepsi banyak orang yang menganggap bahwa khalwat adalah lari menjauhi kenyataan dunia dengan meninggalkan segenap taggung jawabnya. Alasan Nabi mengapa memilih tempat tersebut sebagai upaya mengasingkan diri adalah penyucian diri dari pengaruh -pengaruh hawa jahili yang saat itu semakin memanas. Tidak untuk selamanya Nabi bersembunyi ditempt itu, melainkan untuk sementara waktu menggembleng mentalnya dan mensucikan htinya untuk kembali lagi pada kebisingan dunia yang akan dihadapinya.

Ditempat yang sepi itu yang dilakukan Nabi adalah suatu upaya untuk mendekatka diri kepada sang Khalik dengan berpikir, merenung sambil berzdikir dan bersujud. Beliau sucikan hati, jiwa dengan segenap raganya dari kotoran-kotoran dosa dengan memusatkan segala pikiran dan perasaanya hanya tertuju kepada Allah semata. Hingga akirnya ditempat itu Nabi menemukan petunjuk berupa wahyu Allah sebagai jawaban dari pertanyan-pertanyaan yang sebelumnya menjadi kegelisahan dalam kalbunya.

Itulah inti dari tujuan khalwat yang dilakukan Nabi. Pengasihan diri yang beliau lakukan untuk meninggalkan kenyataan dunia sebelum Beliau bergumul dengan kenyataan dunia dengan segala tanggung jawabnya yang begitu berat, beliau pusatkan terlebih dahulu segenap hati, jiwa dan raganya kepada Allah. Hingga dapat dilihat bahwa betapa Nabi telah berhasil tampil seagai sosok manusia yang sempurna baik dimata manusia maupun dalam pandangan Tuhan.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa kebiasaan Nabi berkhalwat dibulan Ramadhan. Didalam Gua Hira'itu, beliau menjauhi keramaian hidup, menghindari kemewahan dan kelezatan dunia, menghindari makan dan minum berlebihan, dan mereneungi juwud sekaliann yang ada. Ini semua telah membuat kalbu beliau menjadi jernih, dan merupakan pengantar terhadap kenabian Beliau yang berlangsung sampai Jibril turun menyampaiakan wahyu.

Jelas sekali dari riwayat tersebut bahwa ada waktu-waktu tertentu dimana Nabi harus menyendiri disuatu tempat yang sepi tanpa harus meninggalkan keluarga dengan segenap tangguung jawabnya dan komuitas masyarakat dimana beliau tinggal. Hal ini mengisyaratkan bahwa memang secara psiologis manusia pada saat-saat tertentu dan tempat-tempat tertentu pula membutuhkan untuk menyendiri, khalwat untuk menjalin hubungan dengan Allah. Secara simbolis Nabi memilih Goa Hira' sebagai tempat pengasingan diri, yang itu tidak bisa kita pahami secara tekstual. Kita bisa khalwat sebagaimana dicontohkan Nabi dengan tanpa harus pergi mencari sebuah goa, atau pergi kepuncak gunung , di lembah atau hutan yang tidak berpenghuni. Kiranya cukup kita berada didalam rumah kita sendiri, dalam sebuah kammar atau bilik kecil misalnya. Kita pilih saat yang tepat misalnya tengah malam dimana sunyi sepi, senyap mewarnai bumi. Kita sucikan hati kita dan kuta pusatkan segenap jiwa dan raga ini kehadirat Allah pada saat gelap telah menyelimuti seluruh yang ada di alam ini. Dan ternyata inilah yang kita dapatkan dari kehidupan Sufistik yang dijalani oleh Nabi, terutama setelah beliau menerima wahyu.

Banyak riwayat menyebutkan betapa hebatnya ibadah Nabi yang kita mencerminkan peribadatan seorang Sufi. Istri Beliau sendiri 'Aisyah, misalnya pernah bertanya kepada Nabi sewaktu dia melihat betapa lamanya Nabi mengerjakan shalat malam hingga membuat kakinya bengkak. “Wahai Rasulullah, mengapa ini Kau lakukan, bukankah Allah telah mengampuni segal dosamu, baik yang dahulu maupun yang aan datang?” tanya 'Aisyah. Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku akan bersenang hati jika menjadi hamba yang bersyukur?”

Nabi yang jelas-jelas dijamin masuk surga, yang nyata-nyata dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa, tetapi masih berusaha untuk menghadirkan kekusyu'annya kehadirat Allah dalam beribadat. Tak jarang Nabi melelahkan air matanya saat bersujud dihadapan Allah. Beliau selalu berpesan dalam urusan ibadah dengan suatu wasiat “Bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”

Dari beberapa riwayat tersebut, jelasnya ternyata kehiduoan sufi yang dijalani Nabi dibangun dengan jalan syariat. Pengalaman akan syariat adalah merupakan pendakian tangga yang bisa menghubungkan antara hamba dengan sang Khalik. Hubungan antara abdi dengan Tuhannya tidak akan pernah bisa terjalin selagi tidak dilalui dengan tangga syariat tersebut. Jadi tidak ada argumen atau alasan satupun yang bisa dibenarkan bahwa seorang Sufi, misalnya karena maqamya sudah tinggi bisameninggalkan syari'at, atau meremehkannya sekalipun. Bahkan sebaliknya, seorang Sufi sejati yang berjalan diatas sunah Rasul, pastilah mereka akan bertingkah ,bertindak atau berperilaku seperti yang sudah sicontohkan oleh Rasul. Yang ada hanyalah bahwa Rasul itu manusia yang sempurna imanya, begitu agung akhlaknya sehingga terpancar disetiap tingkah laku yang dijalaninya. Sisi lain dapat dilihat yang itu merupakan kehidupan seorang Sufi yang terdapat pada pribadi Nabi adalah sikap dan mentalitasnya terhadap dunia. Banyak riwayat yang menerangkan bagaimana sikap Nabi terhadap dunia ini. Slah satu hadist menjelaskan bahwa Beliau bersapda “Keuntungan apa yang dapat aku ambil dari duniaini? Perumpamaan ku dengan dunia ini seperti seorang musyafir yang beristirahat sebentar ditengah perjalanan musim panas, yang akan segera meninggalkannya”. Beliau bersabda pula : “Diakhirat nanti dunia tidak berarti sedikitpun. Ia hanya jari yang engkau celupkan kelaut, perhatikan berapa air yang bisa terangkat saat jari tadi dikeluarkan?”.

Diriwayatkan bahwa Rasul pernah memberi tawaran kepada Abu Hurairah, “Waai Abu Hurairah maukah engkau aku tunjukan dunia seisinya?” Abu Hurairah menjawab : “Dengan senang hati Wahai Rasulullah!” Kemudia kata Abu Hurairah Rasul menarik tangannya dan menuntunnya kesebuah jurang yang ada di Madianah. Disana ada tempat sampah yang didalamnya ada tengkorak-tengkorak manusia, kotoran, rongsokan dan tulang belulang. Kemudian Beliau bersabda “Wahai Abu Hurairah kepala-kepala ini dulunya sangat loba seperti lobanya kalian semua. Maka beginilah keadanya sekarang menjadi tengkorak tak berkulit yang nanti akan menjadi abu. Kotoran ini adalah macam-macam makanan mereka yang mereka peroleh dengan jalan apa saja kemudian dibuang dari perut mereka, maka beginilah jadinya. Sementara manusia asih te”tap saja mengerumuninya. Rongsokan-rongsokan ini adalah pakaan dan perabot mereka, maka jadi seperti ini tinggal angin yang menggoyang-goyangkannya. Dan tulang-tulang ini dulunya adalah hewan-hewan kendaraan mereka yang digunakan untuk mengunjungi pelosok-pelosok kota. Barang siapa yang masih menangisi dunia maka menangislah”.

Seoran lelai datang kepada Rosulullah dengan mebawa makanan (hadiah), lalu Beliau mencari bejana untuk dijadikan sebagai tetapi Nabi tidak menemukannya. Lalu Beliau bersapda “letakkan saja di tanah” Rasulullah memakanya sedikit lalu bersabda “ Aku makan seperti layaknya hamba sahaya makan. Aku minum layaknya mereka minum. Andaikan dunia ini disisi Allah selembar sayap nyamuk, niscaya tiada tempat untuk memberi minum orang kafir setetespun”

Sunday, September 2, 2012

Wali adalah Yang beriman dan bertakwa

Mereka-mereka para wali yang dijuluki oleh Allah adalah yang beriman dan bertakwa. Iman adalah suatu kepercayaan dalam sanubari, yang tidak hanya sebatas pada ucapan, melaikan harus dibuktikan dengan suatu tindakan nyata. Tidakan nyata yang dimaksud disini adalah menjalankan apa yang sudah menjadi syariat agama yang sudah ditetapkan oleh Allah. Dalam penjelasan ini, tindakan nyata bisa diukur dalam segi ibadah, maka sejauh itu pulalah ia membuktikan keimanan yang telah ia ikrarkan sendiri dalam hatinya.

Dalam kesempatan lain Islam ternyata menyebut orang-orang yang benar-benar beriman dengan sebutan muttaqin(orang-orang yang bertakwa.) Takwa adalah menjalankan semua syari'at agama ; menjalankan semua perintah Allah sekaigus menjauhi segala apa yang sudah dilarangNya. Pengertian yang seperti ini menunjukan bahwa antara iman dan takwa harus saling berkaitan. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan, sebab keduanya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Seorang yang mengaku beriman haruslah bertakwa, ia harus menyesuaikan segala aktivitas hidupnya dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah. Ia harus berbuat baik, baik dalam kaitanya hubungan dengan Sang Khalik maupun sesama manusia. Mengapa? Sebab hal itu diperintahkan oleh Allah. Juga, ia harus meninggalkan jauh-jauh segala perbuatan mungkar sebab itu adalah merupakan larangan dari-Nya.

Wali yang disebutkan Allah adalah manusia-manusia dalam kategori ini. Wali adalah orang-orang yang berimman sekaligus bertakwa. Mereka dalah orang-orang yang selalu menyandarkan semua amaliyanya dengan ukuran syari'at Allah. Mereka akan senantiasa menyelaraskan semua perbuatan dengan apa yang dimaui Tuhannya. Dengan pengertian ini maka tidak ada alasan satupun yang membolehkan atau menganggap sah bagi seorang wali yang segala tindak tanduknya sesuai dengan jalan yang telah ditetapkan oleh Allah, sementara itu kalau ada wali atau seorang dianggap wali oleh orang banyak yang menyimpang dari syari'at agama yang telah dibawa oleh Nabi adalah bukan wali.

Dalam kaitanya dengan ini Imam Al-Ghazali pernah mengatakan “Ketahuilah bahwa orang yang bisa berjalan dijalan Allah itu sedikit, tetapi yang mengaku-aku banyak,aku tunjukan dua tanda untuk menelitinya; salah satuya, hendaknya segal tingkah lakunya mengikuti wazan (timbangan) syari'at yang mulia. Tidak akan sampai padanya kecuali orang-orang yang mendirikan sunah. Maka, bagaimana orang bisa kesana jika masih suka meninggalkan yang fardhu(yang diwajikan kepadanya). Jika kamu bertanya : ” apakah seseorang bisa mencapai derajat sampai dihapuskannya sebagian kewajiban ibadah, dan diperkenankannya untuk melakukan hal yang haram, seperti yang telah dikatakan oleh sebagian masyayih(para Guru)yang ceroboh dalam masalah ini? “.
Ketahuilah bahwa itu adalah sebentuk tipuan. Ulama yang teliti pasti akan mengatakan “Jika engkau tau seseorang bisa berjalan diatas air, sedangkan ia melakukan hal yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwaorang itu adalah setan”.

Dari berbagai kajian etimologi kata sufi sebagaimana dijelaskan pada postinga-postingan sebelmnya maka sampailah pada kesimpulan yang tepat tentang sufi. Sufi adalah manusia-manusia yang senantiasa menghiasi hidupnya dengan iman dan takwa. Mereka adalah manusia yang mempersembahkan semua hidupny kepada Allah sehingga tidak ada rasa takut dan gelisah sedikitpun keciali kepada-Nya. Mereka dalah manusia-manusia yang hatinya selalu bersih dari sesuatu yang selain Allah.

Definisi senada akan kita temukan. Sayyid Husain Nasar, misalnya, mendefinisikan sufi adalah ia yang telah bersih dari semua keinginan. Kehidupan batinnya bersih dari kemalanga.

Kata-katanya bebas dari kelalaian, kealpaan dan fitnah. Pikirannya bersinar-sinar dan matany mengelak dari dunia. Ia telah mendapat petunjuk dari yang benar.

Al-Ghazali mengatakan, Sufi adalah kelompok yang selalu berjalan dijalan Allah, budi pekerti mereka adalah sebaik-baiknyabudi pekerti. Tarekatnya paling tepat, akhaknya paling suci. Andaikan akal para pemikir dan filosof serta para ilmu Ulama yang mengerti rahasia syaria'at dipadukan untuk menggantikan akhlak dan budi pekerti mereka agar lebih baik, mereka tidak akan menemukan jalan. Gerak dan diam mereka, lahir batin adalah serapan dari pancaran Nur Nubuwwah (cahaya kenabian), yang tidak ada cahay dibumi ini kecuali hanya cahaya itu.

Allah secara tegas berfirman daam surat Al Ahzab:21 yang kurang lebih artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bai bagi dirimu(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kimat dan dia banyak menyebut Allah”


Satu-satunya manusia yang layak dan seharusnya kita jadikan contoh, panutan dan publik figur adalah Nabu Muhammad Shalallahu'alaihi wasallam, sebab Beliau adalah satu-satunya manusia yang paling sempurna dimuka bumi ini. Kesempurnaan Nabi, terutama yang terpancar dari akhalnya ternyata telah diakui oleh semua kalangan, tidak hanya kaum muslim pada saat iru tetapi juga kaum kuffar. Tidak hanya kawan teteapi juga lawan, tidak hanya manusia tetapi bahkan Allah sendiri telah memujinya; “sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhak mulia”, demikian firman Allah.

Sebagai uswatun hasanah (tokoh panutan), sesunggunya Nabi telah memberikan contoh dalam segala hal yang berkenaan dengan hidup ini. Contoh yang diberikannya tidak hanya sebuah teori tetapi telah menjadi realitas dalam kehidupan nyata Beliau, yakni bagaimana hidup yang diridhai Allah. Hingga dari sekian banyak contoh yang diberikan kiranya kita dapat melihat Nabi berperilaku sebagai Bapak yang baik untuk anak-anaknya atau bagaimana suami yang baik kepada Istrinya. Juga Nabi memberikan contoh yang sebaiknya kita tiru, yaitu bagaimana seorang pemimpin yang bijaksana terhadap semua semua rakyatnya, bagaimana seorang pedagang yang jujur kepada pembelinya, sampai contoh bagaimana seorang tetangga yang baik kepada tetangganya . Tak terkecuali dalam masalah ini Nabi juga memberikan suatu suri tauladan bagaimana Sufi yang benar dan tidak menyimpang dari ajaran Islam yang dibawanya.

Para ahli menyatakan bahwa gaya hidup yang dijalankn oleh Nabi adalah mencerminkan perikehidupan seorang sufi yang sejati. Cerminan Sufistik yang dicontohkan Nabi adalah meliputi dari semua segi-segi kehidupan yang dijalani dari mulai akhlak ketika melakukan interaksi sosial dengan manusia lain, mentaitasnya terhadap isi dunia sampai akhlak beliau terhadap Allah ketika kusyu' dalam ibadah . Sisi-sisi kehidupan yang sarat dengan muatan sufistik sesungguhnya bisa kita jadkan suatu tolak ukur sejauh mana ajaran sufi itu benar-benar sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Nabi yang bersumber pada ajaran Nabi sedangkan yang menyimpang dari ajaran Beliau sudah pasti salah atau bahkan sesat.

Saturday, September 1, 2012

Melihat Sufi Jangan Hanya Dari Pakaiannya Saja


Sebelumnya dijelaskan bahwa pengertia Sufi ada bermacam-macam salah satu dari kata Shuf yaitu sejenis pakaian. Dengan jenis pakaian Shuf ini Rasullah sendiri pernah memakainya. Demikian pula para sahabat bahkan ada satu golongan yang selalu memakainya sebagai tanda bahwa seseorang dalam golongan tersebut. Nabi bercerita “Sesungguhnya Nabi Musa ketika berbicara dengan Tuhanya memakai jubah Shuf”. Hasan Basri bercerita: aku pernah bertemu dengan sebanyak 70 ahli badar yang memakai pakaian Shuf.

Menurut Thaha A. Baqi Surur,pendapat ini dimana kata sufi disandarkan pada hal yang berhubungan dengan pkaian sebagai simbul seorang zahid tidaklah dapat dipakai sebagai sumber pengambilan yang kuat, tetapi sekedar praktek yang terjadi setelah munculnya gerakan tasawuf Alasan mereka memakainya adalah karena shuf adalah pakaian yang bisa dikenakan oleh para Nabi. Dan hamba-hamba salih sejak munculnya sejarah. Ini berarti bahwa alasan memakai pakaian tersebut adalah merupakan langkahmeniru atau mengikuti tradisi sunnah para Nabi dan mencontoh kebiasaan -kebiasaan berpakaian ala hamba-hamba yang shalih. Kita jangan sampai menafsirkan bahwa pakaian shuf adalah merupakan suatu simbul dari tampilan fisik kehidupan para sufi. Sebab jika penafsiran ini benar-benar dipegang kuat-kuat, maka yang akan muncul adalah suatu kesan bahwa penampilan seorang sufi harus seperti itu, selain yang berpenampilan seperti itu bukan sufi.

Para tokoh Sufi sendiri ada yang mengecam terhadap para Sufi yang selalu menonjolkan sisi luar dari penampilan mereka, terutama yang nampak pada sisi pakaiannya yang lusuh dan kumal. As Syubali, misalnya mengatakan, “Zuhud adalah sifat yang tersembunyi di dalam hati, lantas tergambar dari pakaian. Dahulu zuhud berimplikasi pada amal, namu
n sekarang menjadi identik dengan kain lusuh. Celaka...! Tasawufkan hatimu bukan jasadmu, dan perbaiki niatmu, jangan kau sobekan bajumu“.

Al Junaid berkata, “”Jika kau temui seorang Sufi yang menampakkan lahirnya, ketahuilah bahwa hatinya itu hancur, yang tampak hanyalah pakaian yang kusam”.

Dikatakan kepada Abu Hasan bin Sam'un “Wahai Syaikh..! Anda mengajak manusia untuk kepada Allah dan berpaling kepada dunia . Tetapi anda sensiri ternyata memakai pakaian paling bagusmemakan menu yang terlezat. Mengapa bisa demikian?” Jawab Abu Hasan, “Segala apa yang mampu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, maka kerjakanlah! Apabila hubunganmu dengan Allah menjadi membaik karena pakaian bagus dan makanan lezat, maka hal itu tidak ada masalah”.

Suatu ketika Abu Muhammat bin Akhi Ma'ruf al Karkhi menemui Abu al Hasan bin Basyar yang sedang mengenakan jubah dari shuf. Abu hasan berkata kepadanya “Wahai Abu Muhammad sudahkah kamu mentasawufkan hatimu, atau pakaianmu saja?? tasawufkan hatimu dan berpakainlah yang halus”.

Kata sufi yang memiliki arti bening berasal dari kata shofa. Abu al Fath Basti, dalam menjelaskan kata sufi yang lebih pas disandarkan pada kata shofa, ia tuangkan dalam sebuah syair berikut :

Tentang sufi orangpun tidak sejalan
Mereka selisih paham dari shuf dikirakan
Pada seorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali orang yang bening hati gelar Sufi layak disandar

Kata “Shofa” yang dimaksud disini adalah bening hati. Dengan demikian, satu ciri khas yang menjadi suatu kemestian dari seorang sufi adalah ia harus bening dan bersih hatinya.

Dari sekian banyak kajian etimologi tentang kata sufi saya lebih condong pada penyandaran kata Sufi yang terakir ini. Penyandaran kata Sufi yang betendensi pada bersih hati adalah penampakan dari karakter Sufi yang sejati. Tidak ada immage negatif dari pengertian yang demikia, serta tidak ada kesan nyleneh yang bisa dibuat-buat kecuali Sufi adalah sekelompok orang yang senantiasa berusaha membersihkan hatinya untuk bisa dekat dengan Allah. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran Tasawuf itu sendiri, dimana inti dari ajaranya adalah membersihkan hati (tazkiyatun nasfi) dari segala sesuatu yang selain Allah untuk mencapai kebenaran yang hakiki (baca: ma'rifat).

Penyandaran kata Sufi kepada kata shofa seperti diatas akan nampak begitu sesuai dengan pengertian sufi yang sesungguhnya ketika kita coba kita bandingkan dengan kata sinononimnya, yaitu kata “wali”. Didalam Al-qur'an, Allah sendri memberikan batasan pengertian wali seperti pada QS. Yunus : 62-63 yang kurang lebih artinya sebagai berikut :

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa”.

Ada dua indikasi dari karakter orang-orang yang oleh Allah disebut sebagai wali; pertama, mereka-mereka tidak pernah takut, gentar oleh siapapun dan apapun yang membuat mereka sampai bersedih hati. Pengertian takut disini memiliki pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi semua aspek kehidupan yang dijalani oleh manusia. Dalam kaitanya dalam kehidupan materi misalnya, seorang wali tidak mempunyai perasaan khawatir apalagi sampai takut tidak bisa makan, takut tidak bisa menghidupi keluarga, atau takut tidak bisa menyekolahkan anak dan lain-lain. Dalam hati seorang sufi sudah tertanam keyakinan yang begitu kuat bahwa tidak ada satupun makluk hidup di kolong langit ini yang tidak dijatah rizki oleh Allah, sebab hal tersebut sudah merupakan janji Allah sendiri kepada semua makluk-makluknya. Begitu juga kaitanya dalam masalah perjuangan untuk menyerukan suatu kebenaran, seorang wali tidak mempunyai perasaan khawatir dan takut sedikitpun kepada siapa saja. Ia tidak takut pada ancaman-ancaman para penguasa, tidak takut pada ulminatum-ultimatum yang dihadapi walaupun harus menaruhkan nyawanya sekalipun. Yang tertancap dalam hati seorang wali adalah bahwa Allah selalu menyertai mereka dimanapun, kapanpun dan disetiap gerak langkahnya . Dengan demikian tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi ditakutkan. Bukankah segala daya upaya yang dilakuka oleh seorang manusia kepada manusia lain akan tidak ada gunanya sama sekali kalau Allah berkehendak lain?

Dalam masalah menjalankan peribadatan pun demikian. Seorang Wali tidak ada rasa sedikitpun yang menjadikan ia khawatir atau takut dengan tanggapan-tanggapan orang lain. Sufi tidak akan pernah mau memperdulikan apa kata orang terhadap mereka, predikat apa yang akan diberikan orang lain kepada mereka, atau bahkan cercaan-cercaan apa yang akan diberkan orang lain terhadapnya. Baginya semua penilaian ada ditangan Allah penilaian manusia kepada manusia lain sangatlah subyektif. Sedangkan penilaian yang ada ditangan Allah adalah penilaian yang hakiki. Yang berada dilubuh hati seorang wali adalah segala sesuatu yang ia kerjakan adalah karena Allah. Dengan demikian yang ada hanyalah ikhlas tidak ada riya', ujub atau pamer kepada selain Allah sehingga ia tidak menampak-nampakan kualitas peribadatannya. Yang hanya ditakuti seorang Sufi segala tindak tanduknya akan membuat Allah murka Itu saja!

Terbebasnya wali dari rasa khawatir dan takut seperti diatas telah membuat hati wali menjadi bersih dari kotoran-kotoran dosa yang itu bisa membuat hubungannya dengan Allah menjadi tidak harmonis. Allah dalam kehidupan seorang wali ditempatkan pada posisi di atas segala-galanya. Allah adalah menjadi titik sentral disetiap aktivitas kehidupannya dari mulai tingkahlaku, bergaul dengan anusia lain, bekerja atau bahkan sampai pada aktivitas pompa jantung dan aliran darahnya semua tertuju kepada Allah.