Monday, September 3, 2012

Apakah Nabi Seorang Sufi ???


Dalam Artikel ini kami mencoba menggambarkan pola kehidupan Nabi yang penuh dengan nilai-nilai ajaran Sufi akan membimbing kita pada suatu pemahaman tentang siapa seorang yang disebut sebagai Sufi yang sebenarnya.

Sebelum diangkat menjadi seorang Nabi, ada kebiasaan yang sering dilakukan oleh Muhammad, yaiut khalwat atau menyendiri. Sengaja Beliau memilih Gua Hira' sebagai tempat khalwatnya sebab ditempat tersebut jauh dari hiruk pikuk dan keramaian dunia. Mengapa dan apa yang dilakukan Nabi ditempat tersebut?

Pertanyaan ini harus terjawab untuk eluruskan persepsi banyak orang yang menganggap bahwa khalwat adalah lari menjauhi kenyataan dunia dengan meninggalkan segenap taggung jawabnya. Alasan Nabi mengapa memilih tempat tersebut sebagai upaya mengasingkan diri adalah penyucian diri dari pengaruh -pengaruh hawa jahili yang saat itu semakin memanas. Tidak untuk selamanya Nabi bersembunyi ditempt itu, melainkan untuk sementara waktu menggembleng mentalnya dan mensucikan htinya untuk kembali lagi pada kebisingan dunia yang akan dihadapinya.

Ditempat yang sepi itu yang dilakukan Nabi adalah suatu upaya untuk mendekatka diri kepada sang Khalik dengan berpikir, merenung sambil berzdikir dan bersujud. Beliau sucikan hati, jiwa dengan segenap raganya dari kotoran-kotoran dosa dengan memusatkan segala pikiran dan perasaanya hanya tertuju kepada Allah semata. Hingga akirnya ditempat itu Nabi menemukan petunjuk berupa wahyu Allah sebagai jawaban dari pertanyan-pertanyaan yang sebelumnya menjadi kegelisahan dalam kalbunya.

Itulah inti dari tujuan khalwat yang dilakukan Nabi. Pengasihan diri yang beliau lakukan untuk meninggalkan kenyataan dunia sebelum Beliau bergumul dengan kenyataan dunia dengan segala tanggung jawabnya yang begitu berat, beliau pusatkan terlebih dahulu segenap hati, jiwa dan raganya kepada Allah. Hingga dapat dilihat bahwa betapa Nabi telah berhasil tampil seagai sosok manusia yang sempurna baik dimata manusia maupun dalam pandangan Tuhan.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa kebiasaan Nabi berkhalwat dibulan Ramadhan. Didalam Gua Hira'itu, beliau menjauhi keramaian hidup, menghindari kemewahan dan kelezatan dunia, menghindari makan dan minum berlebihan, dan mereneungi juwud sekaliann yang ada. Ini semua telah membuat kalbu beliau menjadi jernih, dan merupakan pengantar terhadap kenabian Beliau yang berlangsung sampai Jibril turun menyampaiakan wahyu.

Jelas sekali dari riwayat tersebut bahwa ada waktu-waktu tertentu dimana Nabi harus menyendiri disuatu tempat yang sepi tanpa harus meninggalkan keluarga dengan segenap tangguung jawabnya dan komuitas masyarakat dimana beliau tinggal. Hal ini mengisyaratkan bahwa memang secara psiologis manusia pada saat-saat tertentu dan tempat-tempat tertentu pula membutuhkan untuk menyendiri, khalwat untuk menjalin hubungan dengan Allah. Secara simbolis Nabi memilih Goa Hira' sebagai tempat pengasingan diri, yang itu tidak bisa kita pahami secara tekstual. Kita bisa khalwat sebagaimana dicontohkan Nabi dengan tanpa harus pergi mencari sebuah goa, atau pergi kepuncak gunung , di lembah atau hutan yang tidak berpenghuni. Kiranya cukup kita berada didalam rumah kita sendiri, dalam sebuah kammar atau bilik kecil misalnya. Kita pilih saat yang tepat misalnya tengah malam dimana sunyi sepi, senyap mewarnai bumi. Kita sucikan hati kita dan kuta pusatkan segenap jiwa dan raga ini kehadirat Allah pada saat gelap telah menyelimuti seluruh yang ada di alam ini. Dan ternyata inilah yang kita dapatkan dari kehidupan Sufistik yang dijalani oleh Nabi, terutama setelah beliau menerima wahyu.

Banyak riwayat menyebutkan betapa hebatnya ibadah Nabi yang kita mencerminkan peribadatan seorang Sufi. Istri Beliau sendiri 'Aisyah, misalnya pernah bertanya kepada Nabi sewaktu dia melihat betapa lamanya Nabi mengerjakan shalat malam hingga membuat kakinya bengkak. “Wahai Rasulullah, mengapa ini Kau lakukan, bukankah Allah telah mengampuni segal dosamu, baik yang dahulu maupun yang aan datang?” tanya 'Aisyah. Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku akan bersenang hati jika menjadi hamba yang bersyukur?”

Nabi yang jelas-jelas dijamin masuk surga, yang nyata-nyata dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa, tetapi masih berusaha untuk menghadirkan kekusyu'annya kehadirat Allah dalam beribadat. Tak jarang Nabi melelahkan air matanya saat bersujud dihadapan Allah. Beliau selalu berpesan dalam urusan ibadah dengan suatu wasiat “Bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”

Dari beberapa riwayat tersebut, jelasnya ternyata kehiduoan sufi yang dijalani Nabi dibangun dengan jalan syariat. Pengalaman akan syariat adalah merupakan pendakian tangga yang bisa menghubungkan antara hamba dengan sang Khalik. Hubungan antara abdi dengan Tuhannya tidak akan pernah bisa terjalin selagi tidak dilalui dengan tangga syariat tersebut. Jadi tidak ada argumen atau alasan satupun yang bisa dibenarkan bahwa seorang Sufi, misalnya karena maqamya sudah tinggi bisameninggalkan syari'at, atau meremehkannya sekalipun. Bahkan sebaliknya, seorang Sufi sejati yang berjalan diatas sunah Rasul, pastilah mereka akan bertingkah ,bertindak atau berperilaku seperti yang sudah sicontohkan oleh Rasul. Yang ada hanyalah bahwa Rasul itu manusia yang sempurna imanya, begitu agung akhlaknya sehingga terpancar disetiap tingkah laku yang dijalaninya. Sisi lain dapat dilihat yang itu merupakan kehidupan seorang Sufi yang terdapat pada pribadi Nabi adalah sikap dan mentalitasnya terhadap dunia. Banyak riwayat yang menerangkan bagaimana sikap Nabi terhadap dunia ini. Slah satu hadist menjelaskan bahwa Beliau bersapda “Keuntungan apa yang dapat aku ambil dari duniaini? Perumpamaan ku dengan dunia ini seperti seorang musyafir yang beristirahat sebentar ditengah perjalanan musim panas, yang akan segera meninggalkannya”. Beliau bersabda pula : “Diakhirat nanti dunia tidak berarti sedikitpun. Ia hanya jari yang engkau celupkan kelaut, perhatikan berapa air yang bisa terangkat saat jari tadi dikeluarkan?”.

Diriwayatkan bahwa Rasul pernah memberi tawaran kepada Abu Hurairah, “Waai Abu Hurairah maukah engkau aku tunjukan dunia seisinya?” Abu Hurairah menjawab : “Dengan senang hati Wahai Rasulullah!” Kemudia kata Abu Hurairah Rasul menarik tangannya dan menuntunnya kesebuah jurang yang ada di Madianah. Disana ada tempat sampah yang didalamnya ada tengkorak-tengkorak manusia, kotoran, rongsokan dan tulang belulang. Kemudian Beliau bersabda “Wahai Abu Hurairah kepala-kepala ini dulunya sangat loba seperti lobanya kalian semua. Maka beginilah keadanya sekarang menjadi tengkorak tak berkulit yang nanti akan menjadi abu. Kotoran ini adalah macam-macam makanan mereka yang mereka peroleh dengan jalan apa saja kemudian dibuang dari perut mereka, maka beginilah jadinya. Sementara manusia asih te”tap saja mengerumuninya. Rongsokan-rongsokan ini adalah pakaan dan perabot mereka, maka jadi seperti ini tinggal angin yang menggoyang-goyangkannya. Dan tulang-tulang ini dulunya adalah hewan-hewan kendaraan mereka yang digunakan untuk mengunjungi pelosok-pelosok kota. Barang siapa yang masih menangisi dunia maka menangislah”.

Seoran lelai datang kepada Rosulullah dengan mebawa makanan (hadiah), lalu Beliau mencari bejana untuk dijadikan sebagai tetapi Nabi tidak menemukannya. Lalu Beliau bersapda “letakkan saja di tanah” Rasulullah memakanya sedikit lalu bersabda “ Aku makan seperti layaknya hamba sahaya makan. Aku minum layaknya mereka minum. Andaikan dunia ini disisi Allah selembar sayap nyamuk, niscaya tiada tempat untuk memberi minum orang kafir setetespun”

No comments:

Post a Comment