Thursday, September 6, 2012

Hati Yang Suci Memiliki Kekuatan Untuk Mengenal Allah



Selain mempunyai daya untuk menggerakkan ke arah mana manusia itu berperilaku, hati ternyata juga memiliki suatu power untuk mengenal Allah. Allah sendiri berfirman dalam salah satu hadist kursy sebagai berikut:

Bumi dan langitku tidak dapat memuat-Ku. Tetapi hati hamba-Ku yang berimanlah yang lemah lembut dan tenang yang dapat memuat-Ku.

Ungkapan hadist di atas menunjukkan betapa besar kedudukan pemimpin dalam dunia tubuh, di sisi lain hati adalah wadah untuk bisa mengetahui hal-hal gaib yang itu tidak bisa dicapai oleh bagian-bagian lain dari tubuh manusia. Al-Gazali memberikan suatu perumpamaan bahwa hati itu laksana sebuah cermin. Selama cermin hati itu bersih dari kotoran-kotoran yang diakibatkan oleh dosa, maka hati bisa menerima cahaya Dzat Tuhan. Dengan demikian Tuhan akan senantiasa terbayang dalam cermin hatinya. Di dalam situasi inilah, di mana hati seorang manusia sudah mampu menampung cahaya Dzat Allah, maka ia adalah merupakan cerminan dari serang Sufi sejati.
Penyucian hati (tazkiyatun nafsi) dalam dunia sufi memang merupakan suatu laku yang teremat berat dan membutuhkan waktu yang lama. Upaya ini membutuhkan suatu kesabaran, ketelatenan dan kesungguhan yang luar biasa. Dalam keteranga lebih lanjut Imam Al-Gazali menyebutkan bahwa cara yang harus dilakukan dalam upaya untuk menyucikan diri adalah dengan transformasi akhlak , dari akhlak madzmumah (akhlak tercela) menuju pada akhlak mahmudah (akhlak terpuji). Cara tersebut menghendaki hilangnya penyakit-penyakit hati yang menghalangi realisasi tujuan itu agar dapat hati yang kosong dari segala sesuatu dari yang selain Allah dan mengisinya dengan banyak berdzikir kepada Allah. Dalam karyanya Al Tarbantin fi Ushul al Din, dia ia menerangkan proses transformasi akhlak ini yaitu dimulai dengan melaksanakan amalan-amalan yang bersifat dhahiriah atau yang disebut dengan amalan syariah yang oleh Al-Ghazali diklasifikasikan dalam 10 macam amal, yaitu : shalat, zakat, puasa, haji, qira’atil Al-Qur'an, zdikir kepada Allah di setiap kesempatan, mencari kehidupan yang halal, melaksanakan hak-hak muslim, amar ma'ruf nahi munkar, dan ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah secara sempurna dan mendalami rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.

Dari 10 klasifikasi amalan syari'at tersebut, enam di bagian awal adalah dalam kategori dalam ibadah mahdah yaitu se bentuk ibadah ritual yang mempunyai hubungan langsung dengan Allah, sedangkan empat amalan yang terakhir adalah dalam kategori ibadah mu'amalah, yaitu se bentuk ibadah sosial yang bertendensi pada hubungan antar manusia.

Bagi seorang sufi pengalaman syariat agama di samping merupakan suatu kewajiban sebagai individu seorang Muslim yang mukallaf, juga merupakan suatu usaha keras untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran agama Islam itu sendiri, di mana sua syariat agama baik meliputi ibadah ritual maupun ibadah sosial adalah dimaksudkan untuk mensucikan jiwa manusia guna mendekatkan diri kepada Allah. Pengamalan ibadah-ibadah formal sebagaimana ibadah-ibadah di atas sesungguhnya akan mempunyai efek pada kesucian hati yang pada ujungnya akan mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Jadi dengan demikian, dalam ajaran dunia Sufi sebenarnya tidak ada satu tuntunan untuk meninggalkan syariat agama, sebab dengan meninggalkan syariat agama yang telah ditetapkan oleh Tuhan itu tidak akan menjadikan seseorang dekat dengan Allah, tetapi malah sebaliknya akan menjadikan hatinya semakin najis dipenuhi dengan kotoran-kotoran dosa yang pada ujungnya dia akan berada jauh dan sangat jauh dengan Allah.

Sebagai salah satu upaya dan langkah untuk penyucian hati supaya bisa dekat dengan Tuhan, pengamalan syariat yang ada dalam dunia sufi sebenarnya tidak hanya sekadar pengamalan secara formalitas, Dengan kata lain, pengamalan syariat yang dilakukan oleh seorang sufi tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja, tetapi lebih baik jauh dari itu ibadah yang mereka lakukan adalah dengan penghayatan yang dalam akan rahasia yang terkandung di dalamnya. Kaum sufi sufi sebenarnya belum merasa puas dengan hanya melaksanakan formalitas ibadah, sehingga mereka memberikan porsi yang lebih pada kualitas maupun kuantitas ibadah formal tersebut. Kuantitas ibadah mereka tambah dengan memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an dan amalan sunnah yang lain, sedangkan kualitas ibadah adalah dengan menangkap dan merasakan rahasia yang tersembunyi dalam syariat tersebut.

Untuk menangkap sebuah rahasia yang tersembunyi dalam syariat memang dibutuhkan satu pengetahuan yang luas dan mendalam tentang syariat itu sendiri. Rasanya tak mungkin bagi seseorang yang tak mempunyai ilmu agama yang begitu luas dan mendalam akan mengetahui rahasia-rahasia syariat agama, karena itu menurut pandangan sebagian sufi apabila seorang muslim ingin meningkatkan kualitas pendekatan dirinya kepada Allah maka ia terlebih dulu harus mempelajari hukum fikih yang meliputi bidang ibadah, mu'amalah, pernikahan dan hukum waria sebagaimana sudah dirumuskan oleh para ulama dalam hukum fikih madzab empat. Idealnya seseorang yang akan menjalani kehidupan tasawuf sudah mendalami kajian ilmu fikih empat madzab tersebut, atau sekurang-kurangnya mendalami salah satu madzab fikih yang menjadi pilihannya. Lazimnya para sufi menganut salah sati madzab fikih dari empat madzab fikih yang tersedia, misalnya fikih Imam Syafi'i atau yang lain. Dalam hal ini Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang menjalani kehidupan tasawuf tanpa didasari oleh pengamalan hukum fikih, maka ia menjadi kaum Zindiq -menyimpang dari agama yang benar- dan barangsiapa yang hanya melaksanakan hukum fikih -ibadah formal- tanpa dilengkapi oleh pengamalan tasawuf maka ia akan berdosa, dan barangsiapa yang memadukan keduanya secara seimbang, maka ia akan meraih hakikat kebenaran”.

No comments:

Post a Comment