Saturday, September 1, 2012

Melihat Sufi Jangan Hanya Dari Pakaiannya Saja


Sebelumnya dijelaskan bahwa pengertia Sufi ada bermacam-macam salah satu dari kata Shuf yaitu sejenis pakaian. Dengan jenis pakaian Shuf ini Rasullah sendiri pernah memakainya. Demikian pula para sahabat bahkan ada satu golongan yang selalu memakainya sebagai tanda bahwa seseorang dalam golongan tersebut. Nabi bercerita “Sesungguhnya Nabi Musa ketika berbicara dengan Tuhanya memakai jubah Shuf”. Hasan Basri bercerita: aku pernah bertemu dengan sebanyak 70 ahli badar yang memakai pakaian Shuf.

Menurut Thaha A. Baqi Surur,pendapat ini dimana kata sufi disandarkan pada hal yang berhubungan dengan pkaian sebagai simbul seorang zahid tidaklah dapat dipakai sebagai sumber pengambilan yang kuat, tetapi sekedar praktek yang terjadi setelah munculnya gerakan tasawuf Alasan mereka memakainya adalah karena shuf adalah pakaian yang bisa dikenakan oleh para Nabi. Dan hamba-hamba salih sejak munculnya sejarah. Ini berarti bahwa alasan memakai pakaian tersebut adalah merupakan langkahmeniru atau mengikuti tradisi sunnah para Nabi dan mencontoh kebiasaan -kebiasaan berpakaian ala hamba-hamba yang shalih. Kita jangan sampai menafsirkan bahwa pakaian shuf adalah merupakan suatu simbul dari tampilan fisik kehidupan para sufi. Sebab jika penafsiran ini benar-benar dipegang kuat-kuat, maka yang akan muncul adalah suatu kesan bahwa penampilan seorang sufi harus seperti itu, selain yang berpenampilan seperti itu bukan sufi.

Para tokoh Sufi sendiri ada yang mengecam terhadap para Sufi yang selalu menonjolkan sisi luar dari penampilan mereka, terutama yang nampak pada sisi pakaiannya yang lusuh dan kumal. As Syubali, misalnya mengatakan, “Zuhud adalah sifat yang tersembunyi di dalam hati, lantas tergambar dari pakaian. Dahulu zuhud berimplikasi pada amal, namu
n sekarang menjadi identik dengan kain lusuh. Celaka...! Tasawufkan hatimu bukan jasadmu, dan perbaiki niatmu, jangan kau sobekan bajumu“.

Al Junaid berkata, “”Jika kau temui seorang Sufi yang menampakkan lahirnya, ketahuilah bahwa hatinya itu hancur, yang tampak hanyalah pakaian yang kusam”.

Dikatakan kepada Abu Hasan bin Sam'un “Wahai Syaikh..! Anda mengajak manusia untuk kepada Allah dan berpaling kepada dunia . Tetapi anda sensiri ternyata memakai pakaian paling bagusmemakan menu yang terlezat. Mengapa bisa demikian?” Jawab Abu Hasan, “Segala apa yang mampu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, maka kerjakanlah! Apabila hubunganmu dengan Allah menjadi membaik karena pakaian bagus dan makanan lezat, maka hal itu tidak ada masalah”.

Suatu ketika Abu Muhammat bin Akhi Ma'ruf al Karkhi menemui Abu al Hasan bin Basyar yang sedang mengenakan jubah dari shuf. Abu hasan berkata kepadanya “Wahai Abu Muhammad sudahkah kamu mentasawufkan hatimu, atau pakaianmu saja?? tasawufkan hatimu dan berpakainlah yang halus”.

Kata sufi yang memiliki arti bening berasal dari kata shofa. Abu al Fath Basti, dalam menjelaskan kata sufi yang lebih pas disandarkan pada kata shofa, ia tuangkan dalam sebuah syair berikut :

Tentang sufi orangpun tidak sejalan
Mereka selisih paham dari shuf dikirakan
Pada seorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali orang yang bening hati gelar Sufi layak disandar

Kata “Shofa” yang dimaksud disini adalah bening hati. Dengan demikian, satu ciri khas yang menjadi suatu kemestian dari seorang sufi adalah ia harus bening dan bersih hatinya.

Dari sekian banyak kajian etimologi tentang kata sufi saya lebih condong pada penyandaran kata Sufi yang terakir ini. Penyandaran kata Sufi yang betendensi pada bersih hati adalah penampakan dari karakter Sufi yang sejati. Tidak ada immage negatif dari pengertian yang demikia, serta tidak ada kesan nyleneh yang bisa dibuat-buat kecuali Sufi adalah sekelompok orang yang senantiasa berusaha membersihkan hatinya untuk bisa dekat dengan Allah. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran Tasawuf itu sendiri, dimana inti dari ajaranya adalah membersihkan hati (tazkiyatun nasfi) dari segala sesuatu yang selain Allah untuk mencapai kebenaran yang hakiki (baca: ma'rifat).

Penyandaran kata Sufi kepada kata shofa seperti diatas akan nampak begitu sesuai dengan pengertian sufi yang sesungguhnya ketika kita coba kita bandingkan dengan kata sinononimnya, yaitu kata “wali”. Didalam Al-qur'an, Allah sendri memberikan batasan pengertian wali seperti pada QS. Yunus : 62-63 yang kurang lebih artinya sebagai berikut :

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa”.

Ada dua indikasi dari karakter orang-orang yang oleh Allah disebut sebagai wali; pertama, mereka-mereka tidak pernah takut, gentar oleh siapapun dan apapun yang membuat mereka sampai bersedih hati. Pengertian takut disini memiliki pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi semua aspek kehidupan yang dijalani oleh manusia. Dalam kaitanya dalam kehidupan materi misalnya, seorang wali tidak mempunyai perasaan khawatir apalagi sampai takut tidak bisa makan, takut tidak bisa menghidupi keluarga, atau takut tidak bisa menyekolahkan anak dan lain-lain. Dalam hati seorang sufi sudah tertanam keyakinan yang begitu kuat bahwa tidak ada satupun makluk hidup di kolong langit ini yang tidak dijatah rizki oleh Allah, sebab hal tersebut sudah merupakan janji Allah sendiri kepada semua makluk-makluknya. Begitu juga kaitanya dalam masalah perjuangan untuk menyerukan suatu kebenaran, seorang wali tidak mempunyai perasaan khawatir dan takut sedikitpun kepada siapa saja. Ia tidak takut pada ancaman-ancaman para penguasa, tidak takut pada ulminatum-ultimatum yang dihadapi walaupun harus menaruhkan nyawanya sekalipun. Yang tertancap dalam hati seorang wali adalah bahwa Allah selalu menyertai mereka dimanapun, kapanpun dan disetiap gerak langkahnya . Dengan demikian tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi ditakutkan. Bukankah segala daya upaya yang dilakuka oleh seorang manusia kepada manusia lain akan tidak ada gunanya sama sekali kalau Allah berkehendak lain?

Dalam masalah menjalankan peribadatan pun demikian. Seorang Wali tidak ada rasa sedikitpun yang menjadikan ia khawatir atau takut dengan tanggapan-tanggapan orang lain. Sufi tidak akan pernah mau memperdulikan apa kata orang terhadap mereka, predikat apa yang akan diberikan orang lain kepada mereka, atau bahkan cercaan-cercaan apa yang akan diberkan orang lain terhadapnya. Baginya semua penilaian ada ditangan Allah penilaian manusia kepada manusia lain sangatlah subyektif. Sedangkan penilaian yang ada ditangan Allah adalah penilaian yang hakiki. Yang berada dilubuh hati seorang wali adalah segala sesuatu yang ia kerjakan adalah karena Allah. Dengan demikian yang ada hanyalah ikhlas tidak ada riya', ujub atau pamer kepada selain Allah sehingga ia tidak menampak-nampakan kualitas peribadatannya. Yang hanya ditakuti seorang Sufi segala tindak tanduknya akan membuat Allah murka Itu saja!

Terbebasnya wali dari rasa khawatir dan takut seperti diatas telah membuat hati wali menjadi bersih dari kotoran-kotoran dosa yang itu bisa membuat hubungannya dengan Allah menjadi tidak harmonis. Allah dalam kehidupan seorang wali ditempatkan pada posisi di atas segala-galanya. Allah adalah menjadi titik sentral disetiap aktivitas kehidupannya dari mulai tingkahlaku, bergaul dengan anusia lain, bekerja atau bahkan sampai pada aktivitas pompa jantung dan aliran darahnya semua tertuju kepada Allah.

No comments:

Post a Comment