Tuesday, September 11, 2012

Mendaki maqam-maqam Sufi Bagai Menaiki Anak Tangga


Inti dari pensucian hari dari sifat-sifat tercela dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji adalah dimaksudkan agar seseorang terlepas dari ikatan-ikatan dunia hingga yang ada dalam hatinya hanya Allah semata. Langkah ini sebenarnya tidak bisa dilakukan dengan sekejap mata, tetapi membutuhkan latihan-latihan hati secara serius dan bertahap, yakni dengan upaya mencapai tahap-tahap kerohanian dari satu maqam ke maqam berikutnya.

Maqam dalam dunia sufi diartikan dengan taraf-taraf atau suasana batin yang berkaitan dengan pembinaan akhlak. Maqam juga sering diartikan sebagai pangkat atau derajat seseorang di jalan Allah. Menurut Imam Al-ghazali, maqam adalah merupakan suatu persyaratan yang harus dilalui di jalan dunia sufi, dan jika seseorang bertahan dalam salah satu maqam maka keadaan tersebut dinamakan hal (jamak nya Ahwal) atau tingkatan jiwa.

Dari pengertian di atas, maqam bisa di ibaratkan dengan sebuah tangga yang memiliki gigi bertingkat. Tangga dilalui secara bertahap, step by step, dan anak tangga yang paling bawah atau dasar menuju tangga berikutnya sampai pada anak tangga teratas. Begitulah perumpamaan maqam ke tahap maqam berikutnya. Maqam tidak bisa dilalui dengan meloncat langsung pada salah satu maqam dan meninggalkan maqam lain. Hal ini disebabkan karena suasana jiwa manusia itu mempunyai tingkat gradasi atau kemampuan yang bertahap untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dari perspektif ini maka maqam adalah suatu teori yang telah dibangun oleh ulama sufi untuk menghantarkan manusia kepada Tuhannya yang disandarkan pada kemampuan hatinya yang bertahap tersebut.

Ada banyak macam maqam yang telah ditetapkan oleh ulama sufi. Namun dari banyaknya maqam yang ditetapkan tersebut kami mengambil satu rumusan yang telah ditetapkan oleh Al-Ghazali yang sering disebut dengan maqam 7
Maqam yang pertama adalah maqam Tobat. Tobat secara terminologi berarti kembali, searti dengan kata raja'a. Sedangkan menurut istilah, tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Sedangkan menurut Al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak mengulangi nya lagi. Atau, tobat adalah kembali dari maksiat menuju taat. Kembali dari jalan yang jauh menuju pada jalan yang dekat dengan Allah. Dengan demikian orang yang bertobat adalah orang yang berhenti melanggar larangan-larangan Allah dan kembali untuk melakukan perintah-perintah-Nya. Berhenti dari berbuat maksiat lalu berusaha untuk senantiasa mencintai Allah. Berhenti melakukan hal-hal yang dibenci Allah dan berusaha menjalani apa yang diridhai da disayangi-Nya, dan ia akan merasa sedih hati atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Tobat sebenarnya merupakan satu kesadaran yang muncul dari kedalaman hati yang paling bawah. Kesadaran ini muncul atas pengakuan diri sendiri bahwa perilaku hidup yang selama ini dijalani ternyata tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian, tobat sebenarnya tidak bisa di rekayasa atau merupakan manipulasi perasaan jiwa. Ia benar-benar merupakan kesadaran penuh dan murni, bersih dari intervensi-intervensi pihak lain.

Sebagai kesadaran, tobat pasti akan menumbuhkan rasa penyesalan yang begitu dalam. Rasa inilah yang nanti akan menjadi satu kekuatan yang bisa membangkitkan semangat dan tekad bulat untuk melepaskan noda dan dosa yang pernah dilakukan dan beri'tikad untuk memulai lembaran kehidupan baru, suatu kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tobat dengan pengertian yang demikian ini, tentu tidak bisa disamakan dengan “kapok lombok”, dalam istilah Jawa, yang hanya menimbulkan rasa penyesalan sesaat atau rasa jera sementara yang pada satu kesempatan lain akan mengulangi perbuatan yang sama untuk kesekian kalinya. Tobat sebenarnya bukan hanya se bentuk penyesalan dhahir yang sekadar diperlihatkan dalam sisi ucapan yang walau disertai dengan ucapan istighfar. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah upaya untuk menjauhi dan tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan untuk kedua kalinya, apalagi sampai mengulangi berkali-kali. Inilah sebenarnya karakter dari tobat. Jadi sejauh mana seseorang mengaku tobat kepada Allah itu berhenti dari perbuatan dosa lalu tidak mengulangi nya lagi, maka ia berarti benar-benar bertobat. Tetapi jika seseorang tersebut masih saja mengulangi perbuatan-perbuatannya, maka pengakuan tobat tersebut hanya sekadar terucap tetapi tidak terbukti. Sekali-kali Allah tidak akan menerima pertobatan yang demikian, bahkan Allah akan marah sebab Dia merasa dipermainkan.

Ada 4 hal yang oleh kalangan sufi ditetapkan sebagai syarat tobat, di mana keempat hal inilah yang menentukan sah tidaknya pertobatan manusia. Keempat hal tersebut adalah:
  1. An nadm, yaitu menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Penyesalan ini hanya ada secara ikhlas di dalam hati yang terkadang terefleksi secara otomatis dengan tangisan (yang tidak dibuat-buat). Secara psikologis penyesalan yang tulus seringkali membuat manusia harus menangisi perbuatan-perbuatannya.
  2. Al azm, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi dosa yang pernah dilakukan. Satu i'tikad ini sebenarnya tidak mengenal waktu dan tempat. Artinya, selagi seseorang sudah berniat untuk benar-benar tobat, maka ia sepanjang hidupnya, kapan dan di mana saja tidak boleh mengulangi perbuatan yang sama.
  3. Al iqla, yaitu menanggalkan perbuatan dosa. Bagi orang-orang yang bertobat, semua jenis kemaksiatan yang menyebabkan adanya harus ditinggalkan. Sebab hanya dengan itu dia bisa memulai lembaran kehidupan baru yang berbeda sekali dengan lembaran hidup yang sebelumnya. Jika seorang petobat masih saja tidak mengindahkan larangan-larangan agama, maka itu berarti ia kembali lagi pada kesalahan hidup masa lalunya.
  4. Al bara'ah, yaitu membebaskan diri dari hak-hak anak Adam atau membersihkan diri dari dosa-dosa yang ada hubungannya langsung dengan sesama manusia. Hal ini sangat penting sekali untuk diupayakan sebab bagaimana pun juga dosa manusia terhadap manusia yang lalu sebenarnya bukan wewenang Allah untuk mengampuninya, tetapi hak sepenuhnya untuk mengampuni atau tidak terletak ada manusia itu sendiri.

Dari keempat syarat di atas, tiga dari urutan pertama merupakan upaya penghapusan dosa kepada sang Khalik, sedangkan satu yang lainnya adalah merupakan upaya penghapusan dosa terhadap sesama makhluk.

No comments:

Post a Comment