Monday, September 10, 2012

Sombong Akan Melahirkan Perasaan Meremehkan Orang Lain

Menyambung postingan sebelumnya tentang sombong, lebih spesifik lagi, sombong akan melahirkan perasaan meremehkan orang lain, menganggap orang lain tidak ada apa-apanya yang hingga melahirkan sifat pembangkang atau ketidakpatuhan. Sifat terakhir ini lebih disebabkan karena dalam sombong ada sifat tidak takut kepada siapa saja, karena orang lain dihadapannya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Sombong pada kondisi terakhir ini, pada puncaknya bisa berupa kesombongan seorang manusia kepada Tuhan yang ditandai dengan pembangkangan dan ketidakpatuhan hamba terhadap segala perintah-perintah yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Adapun spesifikasi dari sifat ujub adalah pembangkangan terhadap diri sendiri. Sama dengan keberadaan sifat sombong, ujub juga merupakan sifat meremehkan terhadap kelebihan orang lain bila dibandingkan dengan kelebihannya. Kedua sifat ini adalah tercela, yang oleh Nabi disebut sebagai sifat yang menjadikan manusia tidak bisa menikmati kenikmatan surga. “Tidak akan masuk surga orang-orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong (ujub) walaupun seberat biji sawi”, demikian sabda Nabi yang secara tersirat barangkali dapat ditafsirkan, bahwa tidak akan bisa dekat dengan Allah orang-orang yang di dalam hatinya masih terdapat sifat sombong dan ujub walaupun itu sekecil atom.

Sifat kedelapan selanjutnya, yang merupakan salah satu sifat yang menyebabkan penyakit hati adalah riya'. Riya' adalah sebentuk persekutuan. Makanya sifat ini termasuk dalam kategori syirik asghar (kecil atau samar). Sedangkan kita tahu bahwa syirik merupakan suatu dosa yang teramat sulit untuk diampuni. Syirik termasuk dosa besar dan merupakan laku yang paling dibenci oleh Allah.

Dalam bahasa sehari-hari, riya' berarti pamer atau menunjukkan suatu amal perbuatan baik kepada seseorang. Ada satu tujuan yang ingin dicapai dalam riya' yaitu ingin dipuji orang. Dalam pengertian yang demikian, maka riya' sebenarnya merupakan antagonisme dari sifat ikhlas. Kala ikhlas adalah suatu tindakan yang didasarkan niat hanya karena Allah, maka riya' didasarkan pada selain Allah. Tujuan akhir dari ikhlas adalah mencari ridha-Nya, maka yang menjadi tujuan akhir dari riya' ialah supaya dipuji orang, untuk mendapatkan ketenaran dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi seperti kepercayaan orang lain, rasa simpati dan sebagainya.

Suatu amal perbuatan baik dalam bentuk ibadah yang didasari oleh rasa riya' sesungguhnya tidak memiliki orientasi kepada Allah. Makanya Allah sendiri tidak menerimajenis ibadah seperti itu, sebab Dia “tidak merasa” bahwa amal ibadah tersebut ditujukan kepada-Nya. Dalam bahasa logika mungkin bisa dikatakan bahwa, kalau suatu ibadah atas dasar riya' itu tidak diterima, maka bagi Allah pasti akan menganggap amal ibadah tersebut tidak ada. Seseorang sedang melaksanakan ibadah sholat, misalnya, dengan ada rasa riya' didalamnya, maka di samping Allah tidak akan menerima shalat tersebut, juga Da melihat bahwa amal perbuatan shalat itu tidak ada, atau dengan kata lain dianggap tidak melakukan shalat.

Sebagai ibadah yang tidak berorientasi pada Allah, maka secara psikologis ibadah yang ber-riya' tidak akan berefek kedekatan dengan-Nya. Sebaliknya akan menjadikan kedekatan dengan sesuatu yang menjadi tujuan ibadah itu sendiri. Kalau persoalan dunia yang menjadi orientasi ibadahnya, maka ia akan menjadi dekat dengan dunia. Dan jika ia telah dekat dengan dunia, maka ia tidak akan pernah bisa untuk dekat dengan Tuhan. Ini berarti bahwa semakin banyak ibadah yang dilandasi dengan riya', maa ibadah tersebut tidak akan mendekatkan manusia kepada Tuhan melainkan malah menambah jarak antara keduanya menjadi semakin jauh.

Itulah beberapa sifat yang menjadi penyakit hati. Sifat-sifat inilah yang seringkali menjadikan hati tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan telah membunuh hakikatnya. Tentu, bagi siapa saja yang ingin menapak jalan menuju kedekatan dengan Tuhan harus membuang jauh-jauh sifat-sifat tercela itu. Sebab bagaimanapun juga penyakit-penyakit itulah satu-satunya penghalang bagi manusia untuk sampai pada Tuhan.

Setelah seseorang sudah berupaya untuk membunuh sifat-sifat jelek tersebut, maka langkah selanjutnya ia harus mengganti sifat itu dengan sifat-sifat yang mulia. Artinya setelah sifat-sifat jahat dalam hatinya sudah dihilangkan, maka pada saat itu pula ia harus memasukkan sifat-sifat mahmudah ke dalam hatinya. Langkah ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali esensi hati seperti keadaan yang semula.

Dalam pandangan para sufi, hati manusia sebenarnya mempunyai sifat atau kecenderungan yang asasi, yaitu selalu condong pada kebaikan atau selalu condong pada jalan menuju Allah. Dari pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu makhluk baik; condong pada tindakan-tindakan yang lurus dan senantiasa rindu pada kedekatan kepada Tuhan. Hal ini bisa dikandaskan pada suatu kenyataan bahwa sebelum manusia itu disempurnakan penciptaannya, jiwa-jiwa mereka telah diambil sumpahnya oleh Allah. “Bukankah Aku ini adalah Tuhan kalian semua?”, tanya Allah. Jiwa-jiwa manusia itu pun berkata, “Benar (Engkau adalah Tuhan kami), kami bersaksi akan itu”.

Selain ayat tersebut memberikan satu indikasi bahwa manusia adalah makhluk yang selalu condong pada tindakan-tindakan baik, kalangan sufi lebih menafsirkan ayat di atas sebagai satu bukti bahwa hati sebagai salah satu unsur yang ada dalam diri manusia sejak semula telah mengenal Allah. Hati inilah yang sejak awal telah berjanji akan selalu tunduk dan patuh sebagai seorang hamba kepada Tuhannya, sebab ia secara kodrati dijadikan oleh Allah sebagai satu kekuatan dalam diri manusia untuk itu. Tetapi dalam perjalanannya ada banyak hambatan-hambatan yang bisa menyebabkan hati berbelok arah, bahkan tidak mengenal Allah sama sekali. Hambatan-hambatan tersebut juga ada dalam diri manusia itu sendiri berupa nafsu yang nanti akan melahirkan sifat-sifat jahat.

Kesucian hati sebenarnya bisa dilihat seberapa banyak sifat-sifat jahat tersebut ada dalam diri manusia. Dengan kata lain, semakin bersih sifat-sifat jahat tersebut dari hati, maka hati itu dalam keadaan suci, yang dengan kondisi seperti ini hati bisa bekerja secara optimal sesuai dengan karakter aslinya. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana semakin banyak sifat-sifat jahat tersebut ada dan bersarang di dalam hati, maka hati akan kehilangan karakter aslinya; ia tidak lagi berkecenderungan untuk mengarah pada kebaikan, bahkan ia tidak bisa lagi mengenal Tuhan. Inilah barangkali upaya penyucian hati dari sifat-sifat jahat dan menggantinya dengan sifat mulia menjadi prioritas utama dalam ajaran para sufi. Hal ini dikarenakan hanya dengan membersihkan hati manusia akan bisa mengenali Tuhan, bisa berada dekat dengan-Nya, bahkan supaya bisa bersatu dengan Dia.

Upaya penyucian hati dengan cara menghilangkan sifat-sifat jelek lalu menggantinya dengan sifat baik memamng merupakan usaha yang teramat sulit. Tetapi ini bukan berarti tidak bisa. Bagaimana pun seseorang yang memasuki dunia sufi langkah tersebut harus ditempuh, sebab itulah jalan benar yang bisa mengantarkan seorang hamba berada dekat dengan Tuhannya.

No comments:

Post a Comment